BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Sekarang, masyarakat islam banyak sekali yang tidak tahu tentang Tawassul
dan Wasilah. Secara umumnya tawassul beerti mengambil sesuatu sebab yang
dibenarkan syara’ untuk mendekatkan diri kepada Allah swt.
Atau, melakukan sesuatu ibadah, yang mana ibadah tersebut dijadikan
perantara untuk mendapat keredhaannya.Tawassul biasanya berkait dengan doa,
dimana seseorang yang berdoa menjadikan sesuatu sebagai perantara supaya doanya
dikabulkan oleh Allah.
Sebagai contoh :
“Wahai Allah yang maha pengampun, ampunkanlah aku.”
Didalam doa ini, si pendoa
menjadikan sifat Allah yang maha pengampun, sebagai wasilah(perantara) agar
Allah mengampunkan doanya.
1.2
Perumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan permasalah sebagai berikut:
1.
Apa Pengertian Tawassul?
2.
Jelaskan Jenis-jenis Tawassul?
3.
Apa dalil
tentang Tawassul?
4. Kenapa
kita lebih baik bertawassul dengan orang yang sholeh?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah:
1.
Untuk Memahami pengertian Tawassul
dan Wasilah
2.
Untuk mengetahui apa saja jenis
Tawassul
3. Untuk
mengetahui dalil tentang tawassul
4.
Untuk mengetahui Kenapa kita lebih baik bertawassul dengan
orang yang sholeh
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Arti Tawassul
Kata tawasul punya tiga arti. Para
ulama Muslim telah sepakat tentang dua di antaranya: pertama, yang
merupakan dasar iman dan Islam, yaitu tawasul melalui iman kepada beliau
(Rasulullah) dan taat kepadanya; kedua, adalah doa syafaat beliau. Ini
adalah baik. Kedua makna ini telah disepakati kaum Muslimin. Barangsiapa
menolak tawasul dengan salah satu makna ini maka ia kafir murtad. Diampuni jika
ia bertaubat, bila tidak, ia harus dibunuh dalam keadaan murtad. Jadi tawasul
dengan percaya dan taat kepada rasulullah adalah dasar agama. Kenyataan ini
telah diketahui orang. Dengan demikian, barangsiapa menolak doa, syafaat dan
manfaatnya bagi kaum Muslimin, maka ia kafir. Tapi, ini lebih ringan daripada
yang pertama. Barangsiapa menolak karena kebodohannya ia diampuni dari dosa,
jika terus-menerus ingkar maka ia murtad.[1]
B.
Makna Tawassul
Memohon kepada Allah dengan selain
Dia ada dua: bersumpah kepada-Nya dengan nama makhluk; atau memohon dengan
suatu sebab, seperti ketiga orang di dalam gua yang bertawassul dengan
amal-amal mereka, seperti juga bertawassul dengan doa Nabi dan orang-orang
shalih. Bersumpah terhadap Allah dengan selain nama-Nya adalah tidak bolaeh.
Sedangkan memohon dengan suatu sebab yang menjadikan tekabulnya permintaan,
seperti memohon dengan amal yang mengandung ketaatan kepada Allah dan
Rasul-Nya, memohon dengan keimanan dan rasa cinta kepada Rasul, dibolehkan oleh
agama.[2]
Permintaan melalui dzat (pribadi)
para Nabi dan orang-orang shalih adalah tidak masyru’ (dianjarkan agama). Para
ulama telah melarang yang demikian. Memang ada di antara mereka ang
meringankan, tapi yang lebih tepat (rajah) adalah pendapat ang tidak
membolehkan. Permohonan tersebut adalah melalui sebab ang tidak menjadikan
permohonan terkabulkan.
Lain halnya dengan permohonan
melalui sebab terkabulnya permohonan itu, seperti permohonan kepada Allah
melalui doa orang shalih dan amal-amal shalih. Permohonan terakhir ini yang
dibolehkan, sebab doa orang-orang shalih menyebabkan adanya pahala Allah bagi
kita. Bertawassul melalui doa mereka dan amal-amal kita, itulah artinya mencari
wasilah. Allah berfirman :
“Hai orang-orang beriman!
Takutlah kepada Allah dan carilah jalan (wasilah) yang bias menyampaikan
kepada-Nya.”(Al-Qur’an 5:35)
“Berhala-berhala yang mereka seru
itu mencari perantaraan (wasilah) ke Tuhan mereka.”(Al-Qur’an 17’57)
C.
Macam-macam Tawassul
Pembagian
tawassul antara satu ulama dengan lainya berbeda – beda, tergantung versinya
masing – masing. Namun secara ringkas, dapat dibagi menjadi 4 macam:
1.
Tawassul dengan Amal
Semua umat Islam sepakat bahwa
tawassul dengan amal tidak hanya boleh namun diperintahkan Alloh dan Rasul-Nya.
Sedangkan caranya bisa dengan shalat, puasa, sedekah,membaca Al Qur’an,
berdzikir, dan lainya sebagainya, atau dengan amalan yang dapat mendekatkan
diri kepada Alloh atau dapat memudahkan untuk mencapai apa yang dihajatkan.[3]
Menurut Dr.Muhammad bin Alwi Al
Maliki Al Hasani, “ Tidak ada seorang ulama yang berselisih tentang
disyriatkannya tawassul kepada Alloh SWT
dengan amal – amal shaleh. Barangsiapa puasa, shalat atau membaca Al-Qur’an dan
bersedekah, maka dia bias tawassul dengan puasanya, shalatnya, bacaan Al
Qur’anya dan sedekahnya. Bahkan harapan untuk diterima lebih besar.
Dalil yang dijadikan hujjah adalah
hadits tentang tiga orang yang tertutup oleh mulut gua ketika mereka berada di
dalamnya. Salah seorang diantara mereka bertawassul kepada Alloh dengan Birrul
Walidain-nya, yang kedua bertawassul kepada Alloh dengan dengn sikapnya yang menjauhi kemungkaran dan yang
ketiga bertawassul dengan sikap amanahnya dalam memelihara harta orang lain,
sehingga Alloh meringankan atau membuka mulut gua itu. Jenis tawassul ini telah
diterngkan secara jelas beserta dalilnya oleh Syaikh Ibnu Taimiyah dalam
beberapa kitabnya, khususnya dalam risalahnya yang berjudul, “ Qaidah
Jalilah fi- At – Tawassul wal- Wasilah”
Dasar tawassul dengan amal ini
adalah firman Alloh:
“ Mintalah tolong
kepada Alloh dengan ( bersikap ) sabar dan ( melakukan) shalat. dan
Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang
khusyu' “ ( Q.S.al Baqarah
: 45 ),
Sedangan hadits yang menjadi landasan tawassul dengan amal perbuatan,
sebagaimana disinggung di depan adalah:
عَنِ
أَبِى عَبْدِ الرَّحْمنِ
عَبْدِ اللّٰهِ
ابْنِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَابِ رَضِيَ رَضِىَ اللّٰهُ عَنْهُمَا قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللّٰهِ
صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: اِنْطَلَقَ ثَلاَثَةُ نَفَرٍ مِمَّنْ
كَانَ قَبْلَكُمْ حَتَّى آوَاهُمُ الْمَبِيْتُ اِلَى الْغَارِ فَدَخَلُوْهُ
فَانْحَدَرَتْ صَخْرَةٌ مِنَ الْجَبَلِ
فَسُدَّتْ عَلَيْهِمُ الْغَارَ فَقَالُوْا اِنَّهُ لاَيُنْجِيْكُمْ اِلاَّ
اَنْ تَدْعُوْا اللّٰهَ بِصَالِحِ أَعْمَالِكُمْ
قَالَ رَجُلٌ مِنْهُمْ اَللّٰهُمَّ
كَانَ لِى اَبَوَانِ شَيْخَانِ كَبِيْرَانِ وَكُنْتُ لاَاَغْبِقُ قَبْلَهُمَا اَهْلاً فَنَأَى بِى طَلَبُ الشَّجَرِ يَوْمًا فَلَمْ أَرُحْ عَلَيْهِمَا حَتَّى
نَامَا فَحَلَبْتُ لَهُمَا غَبُوْفَهُمَا فَوَجَدْتُهُمَا نَائِمَيْنِ فَكَرِهْنُ
اَنْ اُوْقِظَهُمَا وَاَنْ أَعْبِقَ قَبْلَهُمَا اَهْلاً اَوْ َمَالاً فَلَبِثْتُ وَالْقَدَحُ عَلَى
يَدِى اَنْتَظِرُ اِسْتِيْقَاظَهُمَا حَتَّى بَرِقَ الْفَجْرُ وَالصِّيْبَةُ
يَتَضَاعُوْنَ عِنْدَ قَدَمَىَّ
فَاسْتَيْقَظَ فَشَرِبَ
غَبُوْفَهُمَا اَللّٰهُمَّ اِنْ كُنْتُ فَعَلْتُ ذٰلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَفَرِّجْ عَنَّا مَانَحْنُ فِيْهِ
مِنْ هَذِهِ الصَّخْرَةِ فَانْفَرَجَتْ شَيْئًا لاَيَسْتَطِيْعُوْنَ
الْخُرُوْجَ مِنْهُ .قَالَ اْلاَخَرُ اَللّٰهُمَّ اِنَّهُ كَانَ لِى اِبْنَةُ
عَمٍّ كَانَتْ اَحَبَّ النَّاسِ اِلَيَّ .وفى رواية كُنْتُ اُحِبُّهَا كَاَشَدِّ
مَا يُحِبُّ الرِّجَالُ النِّسَاءَ فَأَرَدْتُهَا عَلَى نَفْسِهَا فَامْتَنَعَتْ
مِنِّى حَتَّى أَلَمَّتْ بِهَا سَنَّةٌ مِنَ السِّنِيْنَ فَجَاءَتْنِى
فَاضعْطَيْتُهَا عِشْرِيْنَ وَمِائَةَ دِيْنَارٍ عَلَى اَنْ تُخَلِّى بَيْنِى
وبَيْنَ نَفْسِهَا فَفَعَلَتْ حَتَّى
اِذَا قَدَرْتُ عَلَيْهَاووفى رواية فَلَمَّا قَعَدْتُ بَيْنَ رِجْلَيْهَا قَالَتْ اِتَّقِ اللّٰهَ وَلاَتَفُضَّ الْخَاتِمَ
اِلاَّ بِحَقِّهِ فَانْصَرَفْتُ عَنْهَا وَهِىَ أَحَبُّ النَّاسِ اِلَيَّ وَتَرَكْتُ الذَّهَبَ الَّذِى أَعْطَيْتُهَا اَللّٰهُمَّ
اِنْ كُنْتُ فَعَلْتُ ذٰلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَفَرِّجْ
عَنَّا مَانَحْنُ فِيْهِ فَانْفَرَجَتِ
الصَّخْرَةُ غَيْرَ اَنَّهُمْْ لاَيَسْتَطِيْعُوْنَ الْخُرُوْجَ مِنْهَا وَقَالَ
الثَّالِثُ اَللّٰهُمَّ أَسْتَأْجَرْتُ
أُجَرَاءَ وَأَعْطَيْتُهُمْ أَجْرَهُمْ غَيْرَهُمْ غَيْرَ وَاحِدٍ تَرَكَ
الَّذِى لَهُ وَذَهَبَ فَثَمَرْتُ أَجْرَهُ حَتَّى كَثُرَتْ مِنْهُ اْلاَمْوَالُ فَجَاءَ نِى بَعْدَ حِيْنٍ
فَقَالَ يَا عَبْدَ اللّٰهِ أَدِّ اِلَيَّ أجْرِى فَقُلْتُ كُلُّ مَا تَرَ ى مِنْ أَجْرِكَ مِنَ
اْلاِبِلِ وَالْبَقَرِ وَالْغَنَمِ وَالرَّقِيْقِ فَقَالَ اللّٰهِ لاَتَسْتَهْزِئْ
فَقُلْتُ لاَأَسْتَهْزِئُ بِكَ فَاَخَذَهُ كُلُّهُ فَاَسْتَاقَهُ فَلَمْ يَتْرُكْ مِنْهُ شَيْئًا. اَللّٰهُمَّ اِنْ كُنْتُ فَعَلْتُ ذٰلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَافْرُجْ عَنَّا مَانَحْنُ فِيْهِ فَانْفَرَجَتْ الصَّخْرَةُ فَخَرَجُوْا
يَمْشُوْنَ.متفق عليه
“ Abdullah bin Umar r.a berkata:”
Saya telah mendengar Rasululloh SAW, bersabda:” Terjadi pada masa dahulu
sebelum kamu, tiga orang berjalan – jalan hingga terpaksa bermalam dalam gua.
Tiba – tiba ketika mereka sedang dalam gua itu, jatuh sebuah batu besar dri
atas bukit dan menutupi gua itu, hingga mereka tidak dapat keluar. Maka
berkalata mereka : “ Sungguh tiada suatu yang dapat menyelamatkan kami dari
bahaya ini, kecuali jika tawassul
kepada Alloh dengan anal – amal shalih
yang bernah kamu lakukan dahulu kala. Maka berkata seorang dari mereka:” Ya
Alloh dahulu saya mempunyai ayah dan
ibu, dan saya biasa tidak memberi
memberi minuman susu pada seorang pun sebelum kedunya ( ayah – ibu ), baik pada
keluarga atau hamba sahaya, maka pada suatu hari agak kejauhan bagiku
mengembalakan ternak, hingga tidak kembali pada keduanya, kecuali sesudah malam
dan ayah bundaku telah tidur. Maka saya
terus memerah susu untuk keduanya dan saya pun segan untuk membangun keduanya,
dan sayapun tidak akan memberikan minuman itu kepada siapapun sebelum ayah
bunda itu. Maka saya tunggu keduanya hingga terbit fajar, maka bangunlah
keduanya dan minum dari susu yang saya perahkan itu. Padahal semalam itu anak – anakku sedang menangis minta susu itu,
di dekat kakiku. Ya Alloh jika saya berbuat itu benar – benar karena
mengharapkan keridhaan-Mu, maka lapangkanlah keadaan kami ini. Maka menyisih
sedikit batu itu, hanya saja mereka belum dapat keluar daripadanya.
Berdo’a yang kedua: “ Ya
Alloh dahulu saya pernah terikat cinta kasih pada anak gadis pamanku, maka
karena cinta kasihku, saya selalu merayu dan ingin berzina padanya, tetapi ia
selalu menolak hingga terjadi pada suatu saat ia menderita kelaparan dan datang
minta bantuan kepadaku, maka saya
berikan padanya uang seratus duapuluh dinar, tetapi dengan janji bahwa ia akan
menyerahkan dirinya kepadaku pada malam harinya. Kemudian ketika saya telah
beada diantara kedua kakinya, tiba – tiba ia berkata :” Takutlah kepada Alloh dan janganlah engkau
pecahkan tutup kecuali dengan halal. Maka saya segera bangun daripadanya
padahal saya masih tetap menginginkanya, dan saya tinggalkan dinar mas yang
telah saya berikan kepadanya itu Ya Alloh jika saya berbuat itu benar – benar
karena mengharapkan keridhaan-Mu, maka lapangkanlah keadaan kami ini. Maka
bergerklah batu itu, menyisih sedikit tetapi mereka belum dapat keluar
daripadanya.
Berdo’a yang ketiga:” Ya Alloh, saya dulu sebagai
majikan, mempunyai banyak buruh pegawai, dan pada suatu hari ketika saya
membayar upah buruh – buruh itu, tiba – tiba ada seorang dari mereka yang tidak
sabar menunggu, segera ia pergi meninggalkan upah dan terus pulang ke rumahnya
tidak kembali. Maka saya gunakan upah itu hingga berkembang dan berbua h hingga
merupakan kekayaan. Kemudian setelah lama sekali datanglah buruh itu dan
berkata: “ Hai Abdullah, berikan kepadaku upahku dulu itu ?” Jawabku,” Semua
kekayaan yang kamu lihat di depanmu itu; mulai unta, sapid an kambing itu
adalah upahmu”. Buruh itu berkata,” Wahai Abdullah, kamu jangan mengejekku”
Jawabku ,” Aku tidak mengejek kepadamu”. Maka diambilnya semua yang saya sebut
itu dan tidak meninggalkan sedikitpun darinya. Ya Alloh jika saya berbuat itu
benar – benar karena mengharapkan keridhaan-Mu, maka lapangkanlah keadaan kami
ini. Tiba –tiba menyisihlah batu itu, hingga mereka keluar dengan selmat” (
H.R.Bukhari – Muslim )
Hadis ini menunjukkan betapa besarnya faidah
amal kelakuan yang tulus ikhlas, hingga dapat dipergunakan bertawasul kepada
Allah dalam usaha menghindarkan bahaya yang sedang menimpa. Juga menunjukkan
bahwa manusia harus mengutamakan orang tua dari anak bini. Juga menunjukkan
kebesaran pengertian dari penahanan hawa nafsu, dan kerakusan terhadap harta
upah buruh.[4]
Semua do’a yang dipanjatkan oleh
ketiga orang dalam Hadits ini menunjukkan
betapa besar faidah amal perbuatan yang dilakukan dengan tulus ikhlas
semata – mata karena Alloh, hingga dapat dijadikan tawassul kepada-Nya dalam
usaha menghindarkan bahaya dan
kesulitan yang sedang menimpa. Dan ternyata
berkat do’a tawassulnya, Alloh mengabulkan apa yang menjdi hajatnya.
Dengan amal shaleh dan beribadah
secara khusyu, tekun dan istiqamah jug
dapat menjadi wasilah datangnya kasih sayang Alloh bagi para pelakunya,
sebagaimana disebutkan dalam hadits:
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللّٰهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ
رَسُوْلُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِنَّ اللّٰهَ تَعَالٰى قَالَ: مَنْ عَادَ لِى
وَِليًّا فَقَدْ اٰذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ وَمَا تَقَرَّبَ اِلَىَّ بِشَيْئٍ اَحَبُّ
اِلَىَّ مِمَّا افْتَرَضْتُهُ عَلَيْهِ وَمَايَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ اِلَىَّ
بِالنَّوَافلِ حَتّٰى اُحِبَّهُ فَاِذَا
اَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِ ى يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِ ى
يُبْصِرُ بِهِ وَيَدَهُ الَّذِ ى يَبْطِشُ بِهاَ وَرِجَْلَهُ الَّذِ ى يَمْشِى
بِهَا وَاِنْ سَأَلَنِى اَعْطَيْتُهُ وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِى َلاُعِيْذَنذَهُ
.رواه البخارى
Dari Abu Hurairah r.a berkata,' Rasululloh SAW bersabda," Sesunguhnya Alloh SAW berfirman," Barangsiapa yang memusuhi
wali-Ku, Aku umumkan perang kepadanya.Tidak seorangpun mendekat kepada-Ku
dengan suatu amalan wajib yang Aku
senangi dan tidak seorang pun dari hamba-Ku yang mendekat kepada-Ku dengan
amalan sunat sampai aku menyenanginya, maka Aku menjadi pendengarnya untuk
mendengar, dan Aku Aku menjadi pandangannya untuk melihat, dan Aku Aku menjadi
tanganya yang dipakai untuk memegang, dan Aku Aku menjadi kakinya
untukberjalan. Jika dia meminta kepada-Ku akan Aku beri permintaanya, dan jika
minta perlindungan kepada-ku, maka Aku melindungi dia" ( H.R.Bukhari
)
Hadits ini
termasuk contoh Tawassul dengan amal perbuatan. Menurut Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah, tawassul seperti inilah yang
benar. Beliau menambahkan, bawa tawassul itu ada 3 mcam, yang dua benar dan satunya salah. Yaitu:
1.
Tawassul ( berperantara ) dengan jalan beriman kepada apa yang dibawa
oleh Nabi SAW dengan jalan bertaqarrub ( mendekatkan diri ) kepada-Nya dengan
melaksanakan yang wajib dan yang sunat –sunat. Dan itulah menurut beliau yang
dimaksud dengan firman Alloh SWT:
" Dan carilah
jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya "(Q.S.al Maidah:35 )
.
Jadi
dengan jalan beriman kepada
apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW dan melaksanakan
segala yang wajib dan yang sunat –sunat, maka orang akan sampai kepada keridlaan Ilahi dan kelak
akan sampai pula ke surga-Nya. Itulah pengertian tawassul yang pertama menurut
Ibnu Taimiyah, dan yang benar
2. Tawassul dengan
Nabi sebagaimana yang lazim dilakukan para shahabat, yaitu tawassul dengan do'a
beliau SAW, ketika beliau masih hidup, dan tawassul dengan syafaat beliau, dan
inipun dalam bentuk do'a langsung kepada Alloh SWT.
Inilah yang dimaksud dengan Hadits:
" Nabi SAW bersabda:" Mintalah kepada Alloh, aku sebagai wasilah, maka
sesunguhnya ( wasilah ) adalah atu derajat di surga yang tidak diperoleh
kecuali oleh seorang hamba dari hamba Alloh, dan aku berharap, bahwa akulah
hamba tersebut, maka barangsiapa meminta kepada Alloh, agar aku jadi wasilah
(nya ), maka berhaklah ia memperoleh syafaatku di hari kiamat " ( Hadits Shahih )
Dan
sabda Nabi SAW;
مَنْ قَالَ حِيْنَ يَسْمَعُ النِّدَاءَ
: : اَللّٰهُمَّ
رَبَّ هٰذِهِ الدَّعْوَةِ التَّا مَّةِ وَالصَّلاَةِ الْقَائِمَةِ آتِ
سَيِّدَنَا مُحَمَّدَا نِ الْوَسِيْلَةَ وَالْفَضِيْلَةَ
وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُوْدًا الَّذِى وَعَدْتَهُ حَلَّتْ لَهُ شَفَاعَتِى.رواه الاربعة
"
Barangsiapa ketika mendengar adzn mengucapkan :" Ya Alloh, Tuhan bagi
seruan sempurna ini, dan ( Tuhan bagi ) shalat yang akan didirikan ini, berilah
kepada Muhammad wasilah dan fadlilah dan derajat yang terpuji yang telah Engkau
janjikan baginya", niscaya akan berhaklah baginya syafaatku pada hari
Kiamat" ( H.R.Imam Empat )
Maka kedua wasilah diatas, adalah
khusus untuk Rasululloh SAW, sebagaimana ditegaskan oleh Nabi SAW: (wasilah)
adalah atu derajat di surga yang tidak diperoleh kecuali oleh seorang hamba
dari hamba Alloh, dan kata Nabi SAW: dan aku berharap, bahwa akulah hamba
tersebut
Jadi siapa
saja yang memohon (berdo'a) kepada Alloh agar Nabi SAW menjadi wasilahnya, maka
berhaklah ia atas syafa'atnya di akhirat nanti. Maka bentuk tawassul ini adalah
berupa do'a
Dan
tawassulnya para shahabat dengan Nabi SAW dan tawajjuh (menghadap) mereka
dengan Nabi SAW dalam pengertian mereka dan perkataan-perkataan mereka, adalah
tawassul dengan do'a dan syafaat Nabi, seperti diuraikan diatas.
3. Pengertian
tawassul yang salah. Yaitu tawassul yang ditradisikan oleh kalangan
mutaakhirin, dalam bentuk bersumpah dengan Nabi, dan meminta –minta kepadanya
(sesudah wafatnya), dan juga terhadap orang – orang shaleh dan mereka yang
dianggap shaleh ( wali )"
Dengan
kata lain, tawassul model kalangan mutaakhirin adalah dengan meminta-minta
kepada orang yang telah meninggal dunia, untuk dimintai bantuanya menyampaikan
do'a-do'a mereka kepada Alloh SWT. Dan bersumpah dengan Nabi (iqsam
bihi), seperti: bihaqqi nabiyyika.... dan seterusnya sesudah wafatnya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Tawassul
dengan perbuatan dan amal sholeh kita yang baik diperbolehkan menurut
kesepakatan ulama’. Demikian juga tawassul kepada Rasulullah s.a.w. juga diperboleh
sesuai dalil-dalil di atas. Tidak diragukan lagi bahwa nabi Muhammad SAW
mempunyai kedudukan yang mulia disisi Allah SWT, maka tidak ada salahnya jika
kita bertawassul terhadap kekasih Allah SWT yang paling dicintai, dan begitu
juga dengan orang-orang yang sholeh.
Saran
Saran yang dapat saya sampaikan melalui makalah ini
yaitu
- Semoga karya ini dapat dipergunakan sebaik-baiknya.
- Kepada pembaca, penulis menganjurkan agar biasa mempelajari, memahami isi dari makalah ini dengan sebaik-baiknya.
- Semoga dengan adanya makalah ini kita bisa memahami Tawassul lebih mendalam.
- Kepada pembaca diharapkan bisa mengamalkan hal ini dalam kehidupan sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
Http://suaragemaislami.blogspot.com/2011/12/macam-macam-tawassul.html Diakses tanggal 12 Juni 2013.
Taimiyah, Ibnu , At Tawassul wa al Wasilah, diterjemahkan oleh Su’adi Sa’ad
dengan judul Tawassul dan Wasilah, Jakarta: Pustaka Panjimas 1987.
Yahya bin Syarif, Abu Zakaria Riadhus
Shalihin, diterjemahkan oleh Salim Bahreijs dengan judul Tarjamah Riadhus
Shalihin, Bandung: Alma’arif 1986.
[1]Ibnu Taimiyah, At Tawassul wa al Wasilah,
diterjemahkan oleh Su’adi Sa’ad dengan judul Tawassul dan Wasilah, (Jakarta:
Pustaka Panjimas 1987) h. 1.
[2]Ibnu Taimiyah, At Tawassul wa al Wasilah, h. 226.
[3]http://suaragemaislami.blogspot.com/2011/12/macam-macam-tawassul.html diakses tanggal 12 Juni 2013.
[4]Abu Zakaria
Yahya bin Syarif, Riadhus Shalihin, diterjemahkan oleh Salim Bahreijs
dengan judul Tarjamah Riadhus Shalihin, (Bandung: Alma’arif 1986), jilid 1, h. 22.