Selasa, 18 Juni 2013

tawassul dengan amal sholeh



BAB I
PENDAHULUAN
1.1   Latar Belakang Masalah
Sekarang, masyarakat islam banyak sekali yang tidak tahu tentang Tawassul dan Wasilah. Secara umumnya tawassul beerti mengambil sesuatu sebab yang dibenarkan syara’ untuk mendekatkan diri kepada Allah swt.
Atau, melakukan sesuatu ibadah, yang mana ibadah tersebut dijadikan perantara untuk mendapat keredhaannya.Tawassul biasanya berkait dengan doa, dimana seseorang yang berdoa menjadikan sesuatu sebagai perantara supaya doanya dikabulkan oleh Allah.
Sebagai contoh : “Wahai Allah yang maha pengampun, ampunkanlah aku.”
       Didalam doa ini, si pendoa menjadikan sifat Allah yang maha pengampun, sebagai wasilah(perantara) agar Allah mengampunkan doanya.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan permasalah sebagai berikut:
1.      Apa Pengertian Tawassul?
2.      Jelaskan Jenis-jenis Tawassul?
3.       Apa dalil tentang Tawassul?
4.      Kenapa kita lebih baik bertawassul dengan orang yang sholeh?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah:
1.      Untuk Memahami pengertian Tawassul dan Wasilah
2.      Untuk mengetahui apa saja jenis Tawassul
3.      Untuk mengetahui dalil tentang tawassul
4.      Untuk mengetahui  Kenapa kita lebih baik bertawassul dengan orang yang sholeh
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Arti Tawassul
Kata tawasul punya tiga arti. Para ulama Muslim telah sepakat tentang dua di antaranya: pertama, yang merupakan dasar iman dan Islam, yaitu tawasul melalui iman kepada beliau (Rasulullah) dan taat kepadanya; kedua, adalah doa syafaat beliau. Ini adalah baik. Kedua makna ini telah disepakati kaum Muslimin. Barangsiapa menolak tawasul dengan salah satu makna ini maka ia kafir murtad. Diampuni jika ia bertaubat, bila tidak, ia harus dibunuh dalam keadaan murtad. Jadi tawasul dengan percaya dan taat kepada rasulullah adalah dasar agama. Kenyataan ini telah diketahui orang. Dengan demikian, barangsiapa menolak doa, syafaat dan manfaatnya bagi kaum Muslimin, maka ia kafir. Tapi, ini lebih ringan daripada yang pertama. Barangsiapa menolak karena kebodohannya ia diampuni dari dosa, jika terus-menerus ingkar maka ia murtad.[1]
B.     Makna Tawassul
Memohon kepada Allah dengan selain Dia ada dua: bersumpah kepada-Nya dengan nama makhluk; atau memohon dengan suatu sebab, seperti ketiga orang di dalam gua yang bertawassul dengan amal-amal mereka, seperti juga bertawassul dengan doa Nabi dan orang-orang shalih. Bersumpah terhadap Allah dengan selain nama-Nya adalah tidak bolaeh. Sedangkan memohon dengan suatu sebab yang menjadikan tekabulnya permintaan, seperti memohon dengan amal yang mengandung ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, memohon dengan keimanan dan rasa cinta kepada Rasul, dibolehkan oleh agama.[2]
Permintaan melalui dzat (pribadi) para Nabi dan orang-orang shalih adalah tidak masyru’ (dianjarkan agama). Para ulama telah melarang yang demikian. Memang ada di antara mereka ang meringankan, tapi yang lebih tepat (rajah) adalah pendapat ang tidak membolehkan. Permohonan tersebut adalah melalui sebab ang tidak menjadikan permohonan terkabulkan.
Lain halnya dengan permohonan melalui sebab terkabulnya permohonan itu, seperti permohonan kepada Allah melalui doa orang shalih dan amal-amal shalih. Permohonan terakhir ini yang dibolehkan, sebab doa orang-orang shalih menyebabkan adanya pahala Allah bagi kita. Bertawassul melalui doa mereka dan amal-amal kita, itulah artinya mencari wasilah. Allah berfirman :
Hai orang-orang beriman! Takutlah kepada Allah dan carilah jalan (wasilah) yang bias menyampaikan kepada-Nya.”(Al-Qur’an 5:35)
Berhala-berhala yang mereka seru itu mencari perantaraan (wasilah) ke Tuhan mereka.”(Al-Qur’an 17’57)
C.    Macam-macam Tawassul

          Pembagian tawassul antara satu ulama dengan lainya berbeda – beda, tergantung versinya masing – masing. Namun secara ringkas, dapat dibagi menjadi 4 macam:
1.      Tawassul dengan Amal
Semua umat Islam sepakat bahwa tawassul dengan amal tidak hanya boleh namun diperintahkan Alloh dan Rasul-Nya. Sedangkan caranya bisa dengan shalat, puasa, sedekah,membaca Al Qur’an, berdzikir, dan lainya sebagainya, atau dengan amalan yang dapat mendekatkan diri kepada Alloh atau dapat memudahkan untuk mencapai apa yang dihajatkan.[3]
Menurut Dr.Muhammad bin Alwi Al Maliki Al Hasani, “ Tidak ada seorang ulama yang berselisih tentang disyriatkannya  tawassul kepada Alloh SWT dengan amal – amal shaleh. Barangsiapa puasa, shalat atau membaca Al-Qur’an dan bersedekah, maka dia bias tawassul dengan puasanya, shalatnya, bacaan Al Qur’anya dan sedekahnya. Bahkan harapan untuk diterima lebih besar.
Dalil yang dijadikan hujjah adalah hadits tentang tiga orang yang tertutup oleh mulut gua ketika mereka berada di dalamnya. Salah seorang diantara mereka bertawassul kepada Alloh dengan Birrul Walidain-nya, yang kedua bertawassul kepada Alloh dengan dengn  sikapnya yang menjauhi kemungkaran dan yang ketiga bertawassul dengan sikap amanahnya dalam memelihara harta orang lain, sehingga Alloh meringankan atau membuka mulut gua itu. Jenis tawassul ini telah diterngkan secara jelas beserta dalilnya oleh Syaikh Ibnu Taimiyah dalam beberapa kitabnya, khususnya dalam risalahnya yang berjudul, “ Qaidah Jalilah fi- At – Tawassul wal- Wasilah
Dasar tawassul dengan amal ini adalah  firman Alloh:

“ Mintalah tolong kepada Alloh dengan ( bersikap ) sabar dan ( melakukan) shalat. dan Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu' “ ( Q.S.al Baqarah : 45 ),

Sedangan hadits yang menjadi landasan tawassul dengan amal perbuatan, sebagaimana disinggung di depan adalah:
عَنِ أَبِى عَبْدِ الرَّحْمنِ عَبْدِ اللّٰهِ ابْنِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَابِ رَضِيَ رَضِىَ اللّٰهُ عَنْهُمَا قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: اِنْطَلَقَ ثَلاَثَةُ نَفَرٍ مِمَّنْ كَانَ قَبْلَكُمْ حَتَّى آوَاهُمُ الْمَبِيْتُ اِلَى الْغَارِ فَدَخَلُوْهُ فَانْحَدَرَتْ صَخْرَةٌ مِنَ الْجَبَلِ  فَسُدَّتْ عَلَيْهِمُ الْغَارَ فَقَالُوْا اِنَّهُ لاَيُنْجِيْكُمْ اِلاَّ اَنْ تَدْعُوْا اللّٰهَ بِصَالِحِ أَعْمَالِكُمْ  قَالَ رَجُلٌ مِنْهُمْ اَللّٰهُمَّ كَانَ لِى اَبَوَانِ شَيْخَانِ كَبِيْرَانِ وَكُنْتُ لاَاَغْبِقُ  قَبْلَهُمَا اَهْلاً فَنَأَى بِى طَلَبُ الشَّجَرِ  يَوْمًا فَلَمْ أَرُحْ عَلَيْهِمَا حَتَّى نَامَا فَحَلَبْتُ لَهُمَا غَبُوْفَهُمَا فَوَجَدْتُهُمَا نَائِمَيْنِ فَكَرِهْنُ اَنْ اُوْقِظَهُمَا وَاَنْ أَعْبِقَ قَبْلَهُمَا اَهْلاً  اَوْ َمَالاً فَلَبِثْتُ وَالْقَدَحُ عَلَى يَدِى اَنْتَظِرُ اِسْتِيْقَاظَهُمَا حَتَّى بَرِقَ الْفَجْرُ وَالصِّيْبَةُ يَتَضَاعُوْنَ عِنْدَ قَدَمَىَّ  فَاسْتَيْقَظَ فَشَرِبَ  غَبُوْفَهُمَا اَللّٰهُمَّ اِنْ كُنْتُ فَعَلْتُ ذٰلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَفَرِّجْ عَنَّا مَانَحْنُ  فِيْهِ  مِنْ هَذِهِ الصَّخْرَةِ فَانْفَرَجَتْ شَيْئًا لاَيَسْتَطِيْعُوْنَ الْخُرُوْجَ مِنْهُ .قَالَ اْلاَخَرُ اَللّٰهُمَّ اِنَّهُ كَانَ لِى اِبْنَةُ عَمٍّ كَانَتْ اَحَبَّ النَّاسِ اِلَيَّ .وفى رواية كُنْتُ اُحِبُّهَا كَاَشَدِّ مَا يُحِبُّ الرِّجَالُ النِّسَاءَ فَأَرَدْتُهَا عَلَى نَفْسِهَا فَامْتَنَعَتْ مِنِّى حَتَّى أَلَمَّتْ بِهَا سَنَّةٌ مِنَ السِّنِيْنَ فَجَاءَتْنِى فَاضعْطَيْتُهَا عِشْرِيْنَ وَمِائَةَ دِيْنَارٍ عَلَى اَنْ تُخَلِّى بَيْنِى وبَيْنَ  نَفْسِهَا فَفَعَلَتْ حَتَّى اِذَا قَدَرْتُ عَلَيْهَاووفى رواية فَلَمَّا قَعَدْتُ  بَيْنَ رِجْلَيْهَا قَالَتْ اِتَّقِ اللّٰهَ وَلاَتَفُضَّ الْخَاتِمَ اِلاَّ بِحَقِّهِ فَانْصَرَفْتُ عَنْهَا وَهِىَ أَحَبُّ النَّاسِ اِلَيَّ وَتَرَكْتُ  الذَّهَبَ الَّذِى أَعْطَيْتُهَا اَللّٰهُمَّ اِنْ كُنْتُ فَعَلْتُ ذٰلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَفَرِّجْ عَنَّا مَانَحْنُ  فِيْهِ فَانْفَرَجَتِ الصَّخْرَةُ غَيْرَ اَنَّهُمْْ لاَيَسْتَطِيْعُوْنَ الْخُرُوْجَ مِنْهَا وَقَالَ الثَّالِثُ  اَللّٰهُمَّ أَسْتَأْجَرْتُ أُجَرَاءَ  وَأَعْطَيْتُهُمْ  أَجْرَهُمْ غَيْرَهُمْ غَيْرَ وَاحِدٍ تَرَكَ الَّذِى لَهُ وَذَهَبَ فَثَمَرْتُ أَجْرَهُ حَتَّى كَثُرَتْ مِنْهُ  اْلاَمْوَالُ فَجَاءَ نِى بَعْدَ حِيْنٍ فَقَالَ يَا عَبْدَ اللّٰهِ  أَدِّ اِلَيَّ أجْرِى  فَقُلْتُ كُلُّ مَا تَرَ ى مِنْ أَجْرِكَ مِنَ اْلاِبِلِ وَالْبَقَرِ وَالْغَنَمِ وَالرَّقِيْقِ فَقَالَ اللّٰهِ لاَتَسْتَهْزِئْ فَقُلْتُ لاَأَسْتَهْزِئُ  بِكَ فَاَخَذَهُ  كُلُّهُ فَاَسْتَاقَهُ  فَلَمْ يَتْرُكْ مِنْهُ شَيْئًا. اَللّٰهُمَّ اِنْ كُنْتُ فَعَلْتُ ذٰلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَافْرُجْ عَنَّا مَانَحْنُ  فِيْهِ فَانْفَرَجَتْ الصَّخْرَةُ فَخَرَجُوْا يَمْشُوْنَ.متفق عليه
“ Abdullah bin Umar r.a berkata:” Saya telah mendengar Rasululloh SAW, bersabda:” Terjadi pada masa dahulu sebelum kamu, tiga orang berjalan – jalan hingga terpaksa bermalam dalam gua. Tiba – tiba ketika mereka sedang dalam gua itu, jatuh sebuah batu besar dri atas bukit dan menutupi gua itu, hingga mereka tidak dapat keluar. Maka berkalata mereka : “ Sungguh tiada suatu yang dapat menyelamatkan kami dari bahaya ini, kecuali jika  tawassul kepada  Alloh dengan anal – amal shalih yang bernah kamu lakukan dahulu kala. Maka berkata seorang dari mereka:” Ya Alloh dahulu saya mempunyai  ayah dan ibu, dan saya biasa  tidak memberi memberi minuman susu pada seorang pun sebelum kedunya ( ayah – ibu ), baik pada keluarga atau hamba sahaya, maka pada suatu hari agak kejauhan bagiku mengembalakan ternak, hingga tidak kembali pada keduanya, kecuali sesudah malam dan ayah bundaku telah tidur. Maka  saya terus memerah susu untuk keduanya dan saya pun segan untuk membangun keduanya, dan sayapun tidak akan memberikan minuman itu kepada siapapun sebelum ayah bunda itu. Maka saya tunggu keduanya hingga terbit fajar, maka bangunlah keduanya dan minum dari susu yang saya perahkan itu. Padahal semalam itu  anak – anakku sedang menangis minta susu itu, di dekat kakiku. Ya Alloh jika saya berbuat itu benar – benar karena mengharapkan keridhaan-Mu, maka lapangkanlah keadaan kami ini. Maka menyisih sedikit batu itu, hanya saja mereka belum dapat keluar daripadanya.
 Berdo’a yang kedua: “ Ya Alloh dahulu saya pernah terikat cinta kasih pada anak gadis pamanku, maka karena cinta kasihku, saya selalu merayu dan ingin berzina padanya, tetapi ia selalu menolak hingga terjadi pada suatu saat ia menderita kelaparan dan datang minta bantuan kepadaku,  maka saya berikan padanya uang seratus duapuluh dinar, tetapi dengan janji bahwa ia akan menyerahkan dirinya kepadaku pada malam harinya. Kemudian ketika saya telah beada diantara kedua kakinya, tiba – tiba ia berkata :”  Takutlah kepada Alloh dan janganlah engkau pecahkan tutup kecuali dengan halal. Maka saya segera bangun daripadanya padahal saya masih tetap menginginkanya, dan saya tinggalkan dinar mas yang telah saya berikan kepadanya itu Ya Alloh jika saya berbuat itu benar – benar karena mengharapkan keridhaan-Mu, maka lapangkanlah keadaan kami ini. Maka bergerklah batu itu, menyisih sedikit tetapi mereka belum dapat keluar daripadanya.
Berdo’a  yang ketiga:” Ya Alloh, saya dulu sebagai majikan, mempunyai banyak buruh pegawai, dan pada suatu hari ketika saya membayar upah buruh – buruh itu, tiba – tiba ada seorang dari mereka yang tidak sabar menunggu, segera ia pergi meninggalkan upah dan terus pulang ke rumahnya tidak kembali. Maka saya gunakan upah itu hingga berkembang dan berbua h hingga merupakan kekayaan. Kemudian setelah lama sekali datanglah buruh itu dan berkata: “ Hai Abdullah, berikan kepadaku upahku dulu itu ?” Jawabku,” Semua kekayaan yang kamu lihat di depanmu itu; mulai unta, sapid an kambing itu adalah upahmu”. Buruh itu berkata,” Wahai Abdullah, kamu jangan mengejekku” Jawabku ,” Aku tidak mengejek kepadamu”. Maka diambilnya semua yang saya sebut itu dan tidak meninggalkan sedikitpun darinya. Ya Alloh jika saya berbuat itu benar – benar karena mengharapkan keridhaan-Mu, maka lapangkanlah keadaan kami ini. Tiba –tiba menyisihlah batu itu, hingga mereka keluar dengan selmat” ( H.R.Bukhari – Muslim )

Hadis ini menunjukkan betapa besarnya faidah amal kelakuan yang tulus ikhlas, hingga dapat dipergunakan bertawasul kepada Allah dalam usaha menghindarkan bahaya yang sedang menimpa. Juga menunjukkan bahwa manusia harus mengutamakan orang tua dari anak bini. Juga menunjukkan kebesaran pengertian dari penahanan hawa nafsu, dan kerakusan terhadap harta upah buruh.[4]          
Semua do’a yang dipanjatkan oleh ketiga orang dalam Hadits ini menunjukkan  betapa besar faidah amal perbuatan yang dilakukan dengan tulus ikhlas semata – mata karena Alloh, hingga dapat dijadikan tawassul kepada-Nya dalam usaha  menghindarkan bahaya dan kesulitan yang sedang menimpa. Dan ternyata berkat do’a tawassulnya, Alloh mengabulkan apa yang menjdi hajatnya.
           Dengan amal shaleh dan beribadah secara khusyu, tekun dan  istiqamah jug dapat menjadi wasilah datangnya kasih sayang Alloh bagi para pelakunya, sebagaimana  disebutkan dalam hadits:
عَنْ اَبِى  هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللّٰهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِنَّ اللّٰهَ تَعَالٰى قَالَ: مَنْ عَادَ لِى وَِليًّا فَقَدْ اٰذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ وَمَا تَقَرَّبَ اِلَىَّ بِشَيْئٍ اَحَبُّ اِلَىَّ مِمَّا افْتَرَضْتُهُ عَلَيْهِ وَمَايَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ اِلَىَّ  بِالنَّوَافلِ حَتّٰى اُحِبَّهُ فَاِذَا اَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِ ى يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِ ى يُبْصِرُ بِهِ وَيَدَهُ الَّذِ ى يَبْطِشُ بِهاَ وَرِجَْلَهُ الَّذِ ى يَمْشِى بِهَا وَاِنْ سَأَلَنِى اَعْطَيْتُهُ وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِى َلاُعِيْذَنذَهُ .رواه البخارى
Dari Abu Hurairah r.a berkata,' Rasululloh SAW bersabda," Sesunguhnya Alloh SAW berfirman," Barangsiapa yang memusuhi wali-Ku, Aku umumkan perang kepadanya.Tidak seorangpun mendekat kepada-Ku dengan suatu amalan wajib  yang Aku senangi dan tidak seorang pun dari hamba-Ku yang mendekat kepada-Ku dengan amalan sunat sampai aku menyenanginya, maka Aku menjadi pendengarnya untuk mendengar, dan Aku Aku menjadi pandangannya untuk melihat, dan Aku Aku menjadi tanganya yang dipakai untuk memegang, dan Aku Aku menjadi kakinya untukberjalan. Jika dia meminta kepada-Ku akan Aku beri permintaanya, dan jika minta perlindungan kepada-ku, maka Aku melindungi dia" ( H.R.Bukhari )

        Hadits ini termasuk contoh Tawassul dengan amal perbuatan. Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,  tawassul seperti inilah yang benar. Beliau menambahkan, bawa tawassul itu ada 3 mcam,  yang dua benar dan satunya salah. Yaitu: 

1.       Tawassul ( berperantara ) dengan jalan beriman kepada apa yang dibawa oleh Nabi SAW dengan jalan bertaqarrub ( mendekatkan diri ) kepada-Nya dengan melaksanakan yang wajib dan yang sunat –sunat. Dan itulah menurut beliau yang dimaksud dengan firman Alloh SWT:
š
" Dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya "(Q.S.al Maidah:35 )
.
            Jadi dengan jalan  beriman kepada apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad  SAW   dan melaksanakan segala  yang wajib dan yang sunat –sunat, maka orang akan sampai kepada keridlaan Ilahi dan kelak akan sampai pula ke surga-Nya. Itulah pengertian tawassul yang pertama menurut Ibnu Taimiyah, dan yang benar 

2.       Tawassul dengan Nabi sebagaimana yang lazim dilakukan para shahabat, yaitu tawassul dengan do'a beliau SAW, ketika beliau masih hidup, dan tawassul dengan syafaat beliau, dan inipun dalam bentuk do'a langsung kepada Alloh SWT.
Inilah yang dimaksud dengan Hadits:

" Nabi SAW bersabda:" Mintalah kepada Alloh, aku sebagai wasilah, maka sesunguhnya ( wasilah ) adalah atu derajat di surga yang tidak diperoleh kecuali oleh seorang hamba dari hamba Alloh, dan aku berharap, bahwa akulah hamba tersebut, maka barangsiapa meminta kepada Alloh, agar aku jadi wasilah (nya ), maka berhaklah ia memperoleh syafaatku di hari kiamat " ( Hadits Shahih )

Dan sabda Nabi SAW;
مَنْ قَالَ حِيْنَ يَسْمَعُ النِّدَاءَ : : اَللّٰهُمَّ رَبَّ هٰذِهِ الدَّعْوَةِ التَّا مَّةِ وَالصَّلاَةِ الْقَائِمَةِ آتِ سَيِّدَنَا مُحَمَّدَا نِ الْوَسِيْلَةَ وَالْفَضِيْلَةَ وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُوْدًا الَّذِى وَعَدْتَهُ  حَلَّتْ لَهُ شَفَاعَتِى.رواه الاربعة
" Barangsiapa ketika mendengar adzn mengucapkan :" Ya Alloh, Tuhan bagi seruan sempurna ini, dan ( Tuhan bagi ) shalat yang akan didirikan ini, berilah kepada Muhammad wasilah dan fadlilah dan derajat yang terpuji yang telah Engkau janjikan baginya", niscaya akan berhaklah baginya syafaatku pada hari Kiamat" ( H.R.Imam Empat )

         Maka kedua wasilah diatas, adalah khusus untuk Rasululloh SAW, sebagaimana ditegaskan oleh Nabi SAW: (wasilah) adalah atu derajat di surga yang tidak diperoleh kecuali oleh seorang hamba dari hamba Alloh, dan kata Nabi SAW: dan aku berharap, bahwa akulah hamba tersebut
         Jadi siapa saja yang memohon (berdo'a) kepada Alloh agar Nabi SAW menjadi wasilahnya, maka berhaklah ia atas syafa'atnya di akhirat nanti. Maka bentuk tawassul ini adalah berupa do'a
          Dan tawassulnya para shahabat dengan Nabi SAW dan tawajjuh (menghadap) mereka dengan Nabi SAW dalam pengertian mereka dan perkataan-perkataan mereka, adalah tawassul dengan do'a dan syafaat Nabi, seperti diuraikan diatas.

3.       Pengertian tawassul yang salah. Yaitu tawassul yang ditradisikan oleh kalangan mutaakhirin, dalam bentuk bersumpah dengan Nabi, dan meminta –minta kepadanya (sesudah wafatnya), dan juga terhadap orang – orang shaleh dan mereka yang dianggap shaleh ( wali )"
            Dengan kata lain, tawassul model kalangan mutaakhirin adalah dengan meminta-minta kepada orang yang telah meninggal dunia, untuk dimintai bantuanya menyampaikan do'a-do'a mereka kepada Alloh SWT. Dan bersumpah dengan Nabi (iqsam bihi), seperti: bihaqqi nabiyyika.... dan seterusnya sesudah wafatnya.
      






BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Tawassul dengan perbuatan dan amal sholeh kita yang baik diperbolehkan menurut kesepakatan ulama’. Demikian juga tawassul kepada Rasulullah s.a.w. juga diperboleh sesuai dalil-dalil di atas. Tidak diragukan lagi bahwa nabi Muhammad SAW mempunyai kedudukan yang mulia disisi Allah SWT, maka tidak ada salahnya jika kita bertawassul terhadap kekasih Allah SWT yang paling dicintai, dan begitu juga dengan orang-orang yang sholeh.

Saran
Saran yang dapat saya sampaikan melalui makalah ini yaitu
  1. Semoga karya ini dapat dipergunakan sebaik-baiknya.
  2. Kepada pembaca, penulis menganjurkan agar biasa mempelajari, memahami isi dari makalah ini dengan sebaik-baiknya.
  3. Semoga dengan adanya makalah ini kita bisa memahami Tawassul lebih mendalam.
  4. Kepada pembaca diharapkan bisa mengamalkan hal ini dalam kehidupan sehari-hari.






DAFTAR PUSTAKA
Taimiyah, Ibnu , At Tawassul wa al Wasilah, diterjemahkan oleh Su’adi Sa’ad dengan judul Tawassul dan Wasilah, Jakarta: Pustaka Panjimas 1987.
Yahya bin Syarif, Abu  Zakaria Riadhus Shalihin, diterjemahkan oleh Salim Bahreijs dengan judul Tarjamah Riadhus Shalihin, Bandung: Alma’arif 1986.


[1]Ibnu Taimiyah, At Tawassul wa al Wasilah, diterjemahkan oleh Su’adi Sa’ad dengan judul Tawassul dan Wasilah, (Jakarta: Pustaka Panjimas 1987) h. 1.
[2]Ibnu Taimiyah, At Tawassul wa al Wasilah, h. 226.
[4]Abu  Zakaria Yahya bin Syarif, Riadhus Shalihin, diterjemahkan oleh Salim Bahreijs dengan judul Tarjamah Riadhus Shalihin, (Bandung: Alma’arif 1986), jilid 1, h. 22.