Rabu, 22 Mei 2013

Makalah Khawarij dan Murji'ah


PENGANTAR ILMU KALAM
Kerangka berpikir Khawarij dan Murjiah
DOSEN PEMBIMBING
Norhidayat, S, Ag., M.A


Muhammad Nor Yasin           : 1201421337
Muhlis Raya                            : 1201421377

PENDAHULUAN
Perbedaan paham dalam Islam sudah muncul sesaat setelah Rasulullah saw. wafat. Pokok perselisihan yang timbul adalah persoalan siapakah yang berhak memegang khalifah (pemimpin kaum muslimin) sesudahnya. Perselisihan ini muncul kembali setelah ada peristiwa yang disebut “Peristiwa Ali r.a.” yang kontra dengan Utsman r.a. yang telah menimbulkan persengketaan dan perbedaan di kalangan kaum muslimin untuk mengetahui siapa yang benar dan siapa yang salah.
Peristiwa terbunuhnya Utsman menjadi titik tolak dari perselisihan dan peperangan di antara kaum muslimin. Dengan terjadinya fenomena tersebut lalu muncullah aliran-aliran baru dalam Islam. Dalam makalah kami ini akan dijelaskan dua golongan Khawarij dan Murjiah terkait tentang lahirnya, tokoh-tokohnya, bagaimana status dosa besar dan pemahaman mereka terhadap Alquran.

PEMBAHASAN

Sejarah Lahirnya Aliran Khawarij dan Murji’ah

A.    Khawarij

1.      Latar belakang
Secara etimologis kata Khawarij berasal dari bahasa Arab yaitu kharaja yang berarti keluar, muncul, timbul atau memberontak. Ini yang mendasari Syahrastani untuk menyebut Khawarij terhadap orang yang memberontak imam yang sah. Berdasarkan pengertian etimologi ini pula Khawarij berarti setiap muslim yang ingin keluar dari kesatuan umat Islam.[1]
Adapun dalam terminologi Ilmu Kalam yang dimaksud Khawarij adalah suatu kelompok atau aliran pengikut Ali bin Abi Thalib yang keluar meninggalkan barisan karena ketidaksepakatan terhadap keputusan Ali yang menerima arbitrase (tahkim), dalam perang shiffin pada tahun 376 H / 648 M dengan kelompok bughat (pemberontak) Muawiyah bin Abi Sufyan perihal persengketaan khalifah.[2] Kelompok Khawarij pada mulanya memandang Ali dan pasukannya berada di pihak yang benar karena Ali merupakan khalifah sah yang telah dibai’at mayoritas umat Islam, sementara Muawiyah berada di pihak yang salah karena memberontak khalifah yang sah, lagipula berdasarkan estimasi Khawarij, pihak Ali hampir memperoleh kemenangan pada peperangan itu, tetapi karena Ali menerima tipu daya licik ajakan damai Muawiyah, kemenangan yang hampir diraih itu menjadi raib. Ali sebenarnya sudah mencium kelicikan di balik ajakan damai kelompok Muawiyah, sehingga ia bermaksud untuk menolak permintaan itu. Namun, karena desakan sebagian pengikutnya, ahli Qurra seperti Al-Asy’ats bin Qais, Mas’ud bin Fudaiki At-Tamimi, dan Zaid bin Husien Ath-Tha’i, dengan sangat terpaksa Ali memerintahkan Askar (komandan pasukannya) untuk menghentikan peperangan. Setelah menerima ajakan damai, Ali bermaksud mengirimkan Abdullah bin Abbas sebagai delegasi juru damai (hakam), tetapi orang-orang Khawarij menolaknya, mereka beralasan bahwa Abdullah bin Abbas berasal dari kelompok Ali sendiri. Kemudian mereka mengusulkan agar Ali mengirim Abu Musa Al-asy’ari dengan harapan dapat memutuskan perkara berdasarkan kitab Allah, keputusan tahkim, yakni Ali diturunkan dari jabatannya sebagai khalifah oleh utusannya, dan mengangkat Muawiyah menjadi pengganti Ali dan ia mengecewakan orang-orang Khawarij, mereka membelot dan mengatakan, “Mengapa kalian berhukum kepada manusia? Tidak ada hukum selain hukum yang ada disisi Allah.” Imam Ali menjawab, “Itu adalah ungkapan yang benar, tetapi mereka artikan dengan salah.” pada saat itu orang-orang Khawarij keluar dari pasukan Ali dan langsung menuju Hurura, itulah sebabnya Khawarij disebut juga dengan nama Hururiah, kadang-kadang mereka disebut dengan Syurah dan Al-Mariqah.
Gelar kaum khawarij yang disebutkan dengan Syurah mempunyai sebuah makna yang berarti orang-orang yang mengorbankan dirinya untuk keridhaan Allah, mereka mendasarkan pada ayat:
Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.

Ajaran-ajaran pokok dalam aliran Khawarij berkenaan dengan masalah khilafah atau kepemimpinan, dosa dan iman. Apabila kelompok Syi’ah berpendapat bahwa khilafah itu bersifat Wharatsah, yaitu warisan, turun-temurun dan demikian pula yang terjadi kemudian khalifah-khalifah bani Umayyah dan bani Abasiyah, maka berbeda sama sekali dengan pendirian Khawarij tentang khalifah. Mereka menghendaki kedudukan khalifah secara demokrasi melalui pemilihan bebas.
Menurut kaum Sunni, khalifah haruslah seorang penguasa yang bebas, tanpa kesanggupan untuk mengurus soal-soal negara dan pemimpin jamaah waktu sembahyang.
Asal mula ajaran Khawarij adalah hal-hal yang berkaitan dengan khalifah, mereka berpendapat sahnya khalifah Abu Bakar dan Umar karena sahnya pemilihan keduanya, dan sahnya khalifah Utsman pada beberapa tahun awal pemerintahannya. Tatkala dia berubah dan menyimpang kebijaksaannya dan tidak mengikuti jejak Abu Bakar dan Umar dan berbuat hal-hal apa yang diperbuatnya (menyimpang), maka dia wajib dipecat. Mereka menghukuminya kafir karena menerima tahkim mereka juga mengutuk (mengkafirkan) orang-orang yang terlibat perang jamal: Thalhah, Zubair, dan Aisyah. Sebagaimana mereka mengkafirkan Abu Musa Al-asy’ari dan Amr bin Ash’.[3]
Al Muhakkimah, ini juga termasuk gelar kaum Khawarij yang pertama kali dinisbahkan kepada mereka, karena pengingkaran mereka terhadap tahkim, ketika ingin memberontak terhadap penguasa atau ketika menyerang orang-orang yang menyelisihi mereka.[4]
Gerakan Khawarij bercabang dua, satu bermarkas di sebuah negeri namanya Bathiah yang menguasai dan mengontrol kaum Khawarij yang berada di Persia dan satu lagi Kiraman untuk daerah-daerah sekeliling Irak. Cabang yang kedua di Arab daratan yang menguasai kaum Khawarij yang berada di Yaman, Hadramaut dan Thaif.[5]




2.      Tokoh-tokoh Khawarij:

1. Urwah bin Hudair
7. Najdah bin ‘Amir
2. Najdah bin Uwaimir
8.Ubaidillah bin Basyir
3. Mustaurid bin Sa’ad
9. Zubair bin Ali
4. Hautsarah bin al Asadi
10. Qathari bin Fujaah
5. Quraib bin Marrah
11. Abdu Rabbih
6. Nafi’i bin Azraa



3.      Status dosa besar menurut Khawarij
Ciri yang menonjol dari aliran Khawarij adalah watak ekstrimitas dalam memutuskan persoalan-persoalan kalam. Hal ini di samping didukung oleh watak kerasnya akibat kondisi geografis gurun pasir, juga dibangun atas dasar pemahaman tekstual terhadap nash-nash Alquran dan Hadis. Tak heran kalau aliran ini memiliki pandangan ekstrim pula tentang status dosa besar, mereka memandang bahwa orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim, yakni Ali, Muawiyah, Amr bin Al-Ash’, Abu Musa Al-Asy’ari adalah kafir, berdasarkan firman Allah pada surah Al-ma’idah ayat 44:
 
Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.
Semua pelaku dosa besar (murtakib al-kabirah), menurut semua subsekte dari golongan khawarij, kecuali subsekte Najah, adalah kafir dan akan disiksa dalam neraka untuk selamanya, bahkan subsekte yang dikenal lebih ekstrim yaitu subsekte Azzariqah, mengunakan istilah musyrik. Tuduhan mengkafirkan saudara Muslim itu pun sangat biasa di kalangan Khawarij bahkan Nafi bin Azraq, yang digelari Amirul Mu’minin oleh kaum Khawarij mengatakan bahwa orang-orang yang membantahnya adalah kafir dan halal darahnya, hartanya, dan anak istrinya.


4.      Pemahaman Khawarij dalam mengkaji Alquran.
Pahaman kaum khawarij ini dalam memahami Alquran adalah menyimpang dalam penafsirannya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan:
Bid’ah pertama terjadi seperti bid’ah Khawarij hanyalah disebabkan kesalah pahaman mereka terhadap Alquran, tidak ada maksud menentangnya, namun memahami Alquran dengan salah sehingga meyakini bahwa sesuatu itu mengharuskan pengkafiran para pecandu dosa, karena mukmin itu hanyalah yang baik dan takwa. Mereka menyatakan: “siapa yang tidak baik dan takwa maka ia kafir dan kekal dalam neraka.” Kemudian menyatakan: “Ustman, Ali dan orang yang mendukung mereka berhukum dengan selain hukum Islam.” Sehingga kebid’ahan mereka memiliki alur sebagai berikut:
Ø  Siapa yang menyelisihi Alquran dengan amalannya atau pendapat yang salah, maka telah kafir.
Ø  Ali dan Utsman dan semua yang mendukung keduanya dulu berbuat tidak mengikuti Alquran dan sunnah.

B.     Murji’ah

1.      Latar belakang kelahirannya aliran Murji’ah.
Sejarah mencatat lahirnya aliran Murjiah pada akhir abad pertama Hijrah ketika ibukota kerajaan Islam dipindahkan ke Kuffah kemudian pindah lagi ke Damaskus.[6] Sedangkan nama Murjiah diambil dari kata irjā’ atau arja’a yang bermakna penundaan, penangguhan, dan pengharapan. Kata arja’a mengandung pula arti memberi harapan, yakni memberi harapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh penganpunan dan rahmat Allah. Selain itu arja’a berarti pula meletakkan di belakang atau mengemudikan, yaitu orang mengemudikan amal dari iman. Oleh karena itu Murjiah artinya orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa, yakni Ali dan Muawiyah serta pasukannya masing-masing ke hari kiamat kelak.[7]
Seperti halnya aliran-aliran kalam lainnya, kemunculan aliran Murji’ah juga dilatar belakangi oleh politik. Sudah dijelaskan sebelumnya bahwa pusat pemerintahan dipindah ke Damaskus, maka sejak itulah mulai tampak kurang taatnya beragama dalam kalangan penguasa Bani Umayyah.[8]
Nash Hamid Abu Zayd menyatkan Murjiah secara epistemologi terbagi kepada dua kubu; penganut Jabariyah (kelompok Jahm ibn Shafwan) dan penganut Qadariyyah (kelompok Ghaylan ad-Dimasyqi.[9] Kedua kubu ini sepakat mendefinisikan iman sebagai pengetahuan tentang Allah. Mereka berbeda pada konsep kemampuan manusia untuk memperoleh pengetahuan disebabkan perbedaaan pandangan mereka tentang kebebasan manusia.
Kalau dilihat dari sisi mereka berpendapat tentang keimanan Murji’ah terbagi kedalam tiga golongan:
Pertama: Mur’jiah Jahmiyyah, mereka mengatakan bahwa iman itu hanya di hati saja, tidak ada sangkut pautnya dengan lisan (ucapan) dan perbuatan.
Kedua: Murji’ah Karramiyah, mereka mengatakan bahwa iman ucapan dengan lisan semata-mata tanpa ikatan hati dan perbuatan.
Ketiga: Murji’ah Fuqaha, mereka mengatakan bahwa iman itu ialah membenarkan di hati dan di ucapkan dengan lisan. Sedangkan  perbuatan tidak termasuk di dalam bagian keimanan.
Kelompok yang ketiga inilah yang terbaik dibandingkan dengan dua golongan Mur’jiah yang lainnya. Akan tetapi tetaplah sangat buruk dibandingkan dengan Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang meyakini bahwa iman itu bertambah dengan amal dan ta’at dan berkurang dengan maksiat dan perbuatan (amal) itu masuk dalam keimanan.[10]




2.      Status dosa besar menurut paham Mur’jiah.
Dalam bidang teologi mengenai dosa besar, kaum Murji’ah terbagi kedalam dua golongan:
Pertama: Golongan Ekstrim, golongan ini dipimpin Al-jahamiyah (pengikut Jaham ibn Safwan) mererka berpendapat bahwa orang Islam yang percaya pada Tuhan dan kemudian menyatakan kekufuran dengan lisan tidaklah kafir. Dengan alasan, iman dan kafir bertempat di hati. Pendapat lain, bahwa iman adalah mengetahui Tuhan dan sembahyang bukanlah ibadah, ibadah adalah iman kepadanya. Artinya mengetahui Tuhan, merka ini adalah pengikut Abu Al-hasan Al-salihi.
Kedua: Golongan Moderat, golongan ini berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka.[11]
Ajaran kaum Murji’ah Moderat inilah yang dapat diterima oleh Ahli Sunnah wal Jama’ah dalam Islam.


3.      Tokoh-tokoh Murji’ah.
Golongan Ekstrim:
a.       Jaham ibn Safwan
b.      Abu Al-hasan Al-salihi
c.       Al Baghdadi
d.      Al  Yunusiah
e.       Al ‘Ubaidiyah
f.       Muqatil ibn Sulaiman
g.      Al Khasaniyah
Golongan Moderat:
a.    Al Hasan ibn Muhammad ibn Ali ibn Abi Thalib
b.    Abu Hanifah
c.    Abu Yusuf


4.      Doktrin-doktrin utama aliran Murji’ah.
Menurut W. Montgomery Watt merincikan sebagai berikut :
a.       Penangguhan keputusan terhadap Ali dan Mu’awiyah hingga Allah memutuskannya di akhirat kelak.
b.      Penangguhan Ali untuk menduduki rangking keempat dalam peringkat Khalifah Rasyiddin.
c.       Pemberian harapan terhadap orang muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
d.      Doktrin – doktrin murji’ah menyerupai pengajaran para skeptis dan empiris dari kalangan Helenis.

Menurut Harun Nasution, ada 4 ajaran pokok dalam doktrin teologi Murji’ah yaitu :
a.       Menunda hukuman atas Ali, Mu’awiyah,Amr bin Ash, dan Abu Musa Al – Asy’ari yang terlibat tahkim dan menyerahkannya kepada Allah di hari kiamat kelak.
b.      Menyerahkan keputusan kepada Allah atas orang muslim yang berdosa besar.
c.       Meletakkan pentingnya iman daripada amal.
d.      Memberikan pengharapan kepada muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.

Berbeda dengan Abu ‘Ala Al Maududi yang hanya menyebutkan 2 doktrin pokok ajaran Murji’ah, yaitu :
a.       Iman adalah percaya kepada Allah dan rasulnya saja. Adapun amal perbuatan tidak merupakan suatu adanya iman. Berdasarkan hal ini, sesorang tetap dianggap mukmin walaupun meningggalkan perbuatan yang difardhukan dan melakukan dosa besar.
b.      Dasar keselamatan adalah iman semata. Selama masih ada iman di hati, setiap maksiat tidak dapat mendatangkan madharat ataupun gangguan atas seorang. Untuk mendapatkan pengampunan, manusia cukup hanya denganmenjauhkan diri dari syirik dan mati dalam keadaan akidah tauhid.

5.      Sub-sub sekte aliran Murji’ah.
  1. Al-Jahamiyah di pelopori oleh Jahm bin Safwan. Menurut paham ini, iman adalah mempercayai Allah SWT, rasul-rasul-Nya, dan segala sesuatu yang datangnya dari Allah SWT. Sebaliknya, kafir yaitu tidak mempercayai hal-hal tersebut diatas. Apaila seseorang sudah mempercayai Allah SWT, rasul-rasul-Nya dan segala sesuatu yang datang dari Allah SWT, berarti ia mukmin meskipun ia menyatakan dalam perbuatannya hal-hal yang bertentangan dengan imannya, seperti berbuat dosa besar, menyembah berhala, dan minum-minuman keras. Golongan ini juga meyakini bahwa surga dan neraka itu tidak abadi, karena keabadian hanya bagi Allah SWT semata.
  2. As-Shalihiyah diambil dari nama tokohnya, Abu Hasan As-Shalihi. Sama dengan pendapat Al-Jahamiyah, golongan ini berkeyakinan bahwa iman adalah semata-mata hanya ma’rifat kepada Allah SWT, sedangkan kufur (kafir) adalah sebaliknya. Iman dan kufur itu tidak bertambah dan tidak berkurang.
  3. Al-Yunusiyah adalah pengikut Yunus bin An-Namiri. Menurut golongan ini, iman adalah totalitas dari pengetahuan tentang Tuhan, kerendahan hati, dan tidak takabur; sedang kufur kebalikan dari itu. Iblis dikatakan kafir bukan karena tidak percaya kepada Tuhan, melainkan karena ketakaburannya. Mereka pun meyakini bahwa perbuatan jahat dan maksiat sama sekali tidak merusak iman.
  4. Al-Ubaidiyah di pelopori oleh Ubaid Al-Muktaib. Pada dasarnya pendapat mereka sama dengan sekte Al-Yunusiyah. Pendapatnya yang lain adalah jika seseorang meninggal dalam keadaan beriman, semua dosa dan perbuatan jahatnya tidak akan merugikannya. Perbuatan jahat, banyak atau sedikit, tidak merusak iman. Sebaliknya, perbuatan baik, banyak atau sedikit, tidak akan memperbaiki posisi orang kafir. Al-Ghailaniyah di pelopori oleh Ghailan Ad-Dimasyqi. Menurut mereka, iman adalah ma’rifat kepada Allah SWT melalui nalar dan menunjukkan sikap mahabah dan tunduk kepada-Nya.
  1. As-Saubaniyah yang dipimpin oleh Abu Sauban mempunyai prinsip ajaran yang sama dengan paham Al-Ghailaniyah. Hanya mereka menambahkan bahwa yang termasuk iman adalah mengetahui dan mengakui sesuatu yang menurut akal wajib dikerjakan. Berarti, kelompok ini mengakui adanya kewajiban-kewajiban yang dapat diketahui akal sebelum datangnya syari’at.
  2. Al-Marisiyah di pelopori oleh Bisyar Al-Marisi. Menurut paham ini, iman disamping meyakini dalam hati bahwa tiada Tuhan selain Allah SWT dan Muhammad SAW itu rasul-Nya, juga harus di ucapkan secara lisan. Jika tidak di yakini dalam hati dan diucapkan dengan lisan, maka bukan iman namanya. Adapun kufur merupakan kebalikan dari iman.
  3. Al-Karamiyah yang perintisnya adalah Muhammad bin Karram mempunyai pendapat bahwa iman adalah pengakuan secara lisan dan kufur adalah pengingkaran secara lisan. Mukmin dan kafirnya sesseorang dapat di ketahui melalui pengakuannya secara lisan. Sebagai aliran yang berdiri sendiri, kelompok Murji’ah ekstrem sudah tidak didapati lagi sekarang. Walaupun demikian, ajaran-ajarannya yang ekstrem itu masih didapati pada sebagian umat Islam. Adapun ajaran-ajaran dari kelompok Murji’ah moderat, terutama mengenai pelaku dosa-dosa besar serta pengertian iman dan kufur, menjadi ajaran yang umum disepakati oleh umat Islam.[12]

















Kesimpulan
Tahkim (arbitrase) inilah awal dari kemunculan aliran Khawarij dan Murji’ah. Khawarij ialah kelompok pengikut  Ali yang keluar dari barisan karena ketidaksepakatan terhadap keputusan Ali yang menerima arbitrase (tahkim) dalam perang shiffin pada tahun tahun 37 H./ 648 M. dengan kelompok Bughat (pemberontak) Muawiyah bin Abi Sufyan perihal persengketaan khilafah.
Asal mula gerakan khawarij ini  masalah politik semata-mata namun kemudian berkembang mewnjadi corak keagamaan. Seperti tentang doktrin-doktrin mereka, memahami Alquran dan juga status orang yang memperbuat dosa besar.
Aliran Murji’ah, aliran ini disebut Murji’ah karena dalam prinsipnya mereka menunda penyelesaian persoalan konflik politik antara Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Khawarij ke hari perhitungan di akhirat nanti.
Dalam perjalanan sejarah, aliran ini terpecah menjadi dua kelompok, yaitu kelompok moderat dan kelompok ekstrem. Tokoh-tokoh kelompok moderat adalah Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, Abu Hanifah (Imam Hanafi), Abu Yusuf dan beberapa ahli hadits.Golongan moderat ini berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka, tetapi akan dihukum dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang dilakukannya, dan ada kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni dosanya dan oleh karena itu tidak akan masuk neraka sama sekali. Sedangkan tokoh – tokoh kelompok ekstrim adalah Jahm bin Safwan, Abu Hasan As-Shalihi, Yunus bin An-Namiri, Ubaid Al-Muktaib, Abu Sauban, Bisyar Al-Marisi, dan Muhammad bin Karram. Golongan ekstrim ini berpendapat bahwa Islam percaya pada Tuhan dan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan tidaklah menjadi kafir, karena iman dan kafir tempatnya hanyalah dalam hati, bukan menjadi bagian lain dari tubuh manusia.

  




DAFTAR PUSTAKA

Abbas,  Sirajuddin, I’tiqad Ahlussunnah wal jama’ah Jakarta: Radarjaya Offset, 2008.
Abdat, Abdul Hakim bin Amir, Keshahihan Hadits Iftiraqul Ummah, Firqah-firqah Sesat di dalam Islam, Aqidah Salaf Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Jakarta: Pustaka Imam Muslim, 2005.
Ahmad, Muhammad, Tauhid Ilmu Kalam, Bandung: CV Pustaka Setia , 1998.
Anwar, Rosihon dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia, 2000
Http://www.salafyoo.net/khawarij ,sejarah ajarannya dalam perspektif islam. Diakses tanggal 16-03-2013.
Mulyono dan Bashori, Studi Ilmu Tauhid/kalam, Malang: UIN-Maliki Press, 2010.
Nasir, A. Salihun, Pengantar Ilmu Kalam, Jakarta: CV. Rajawali, 1991.
Rosihon Anwar, Abdul Rozak dan Maman Abdu Djalel, Ilmu Kalam Bandung: CV Pustaka Setia, 2006.
Rozak, Abdul dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia 2006.
Wardani, Efistemologi Kalam Abad Pertengahan, Yogyakarta: LkiS, 2003.



[1] Rosihon Anwar, Abdul Rozak dan Maman Abdu Djalel, Ilmu Kalam (Bandung: CV Pustaka Setia, 2006). Hal. 49
[2]Rosihon Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2000) hal. 49.
[3]Salihun A. Nasir, pengantar ilmu kalam, (Jakarta: CV. Rajawali, 1991) hal. 95-96.
[4]Http://www.salafyoo.net/khawarij ,sejarah jarannya dalam perspektif islam Diakses tanggal 16-03-2013.

[5]Sirajuddin Abbas, I’tiqad Ahlussunnah wal jama;ah (Jakarta: Radarjaya Offset, 2008) hal. 170.
[6]Mulyono dan Bashori, Studi ilmu tauhid/kalam, (Malang: UIN-Maliki Press, 2010) hal. 117.
[7]Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu kalam, (Bandung: Pustaka Setia 2006), hal. 56.
[8]Salihun A. Nasir, Pengantar Ilmu kalam, hal. 137.
[9]Wardani, Efistemologi Kalam abad pertengahan, (Yogyakarta: LkiS, 2003) hal. 42.
[10]Abdul Hakim bin Amir Abdat, Keshahihan hadits iftiraqul ummah, firqah-firqah sesat di dalam Islam, Aqidah salaf Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, (Jakarta: Pustaka Imam Muslim, 2005), hal. 75-76.
[11]Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam, (Bandung: CV Pustaka Setia , 1998) hal. 162.