KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Puji
syukur kita ucapkan kehadirat ALLAH SWT yang telah melimpahkan taufik dan
hidayah kepada hambanya yang beriman dan bertakwa.
Sholawat
serta salam tercurah kepada nabi Muhammad SAW yang di utus menjadi rahmat bagi
sekalian alam.
Begitu
pula pada keluarganya, sahabatnya, dan orang muslim yang istiqamah dalam
menyebarkan syiar agama islam sampai hari kiamat.
Penulis
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Badai krisis multi-dimensi masih terus berkecamuk. Sector industri masih belum menampakkan kepulihannya. Harga barang juga tetap melambung
tinggi. Daya beli masyarakat rendah. Akan tetapi
sector ekonomi tampaknya belum menunjukkan perubahan yang signifikan (berarti), padahal segala jurus
penangkal krisis telah di keluarkan. Berbagai dewan pendukung tim ekonomi telah
dikerahkan, baik pada masa pemerintahan gusdur maupun pemerintahan-pemerintahan
sesudahnya. Namun hasilnya masih jauh dari apa yang diharapkan. Ada yang
mengatakan , Indonesia perlu pemimpin manusia setengah malaikatuntuk mengatasi
segala persoalan.
Lalu, dalam kondisi ini, masyarakat kecil yang
paling merasakan dampaknya. Akibatnya,
sebagian besar kebutuhan mereka terabaikan. Yang
lebih memprihatinkan, jika yang terabaikan
itu adalah masalah kesehatan. Sering muncul kasus keluarga miskin yang
menderita penyakit kronis, tapi
membiarkan penyakit itu menggrogoti tubuhnya. Atau paling banter hanya sekedar
berobat ala kadarnya. Tidak lain karena mereka tidak mempunyai biaya untuk
berobat, jangankan untuk berobat secara rutin ke dokter spesialis, untuk
kebutuhan sehari-hari saja mereka kembang kempis.
Padahal jika di biarkan berlarut-larut penyakit itu
akan semakin parah, apalagi kalau penyakit yang di derita adalah penyakit yang
membahayakan, seperti: tumor
ganas, AIDS, kanker,jantung dan lain sebagainya. Bisa jadi penyakit tersebut
masuk dalam stadium yang ‘tak bisa di tolong’ dalam kondisi demikian tentu si
penderita yang kelabakan. Ia
dalam posisi yang dilematis. Sebab, jika
di biarkan begitu saja kita kasihan, tapi jika di obati tidak ada harapan untuk
sembuh. Apalagi keluarga tidak banyak cukup uang
untuk biaya pengobatan yang tinggi, sementara penyakitnya sudah cukup akut.
Dalam saat seperti ini biasanya seorang dokter atas
kesepakatan keluarga pasien, menempuh jalan euthanesia.
Oleh sebab itulah di sini kami akan membahas hukum
tentang penggunaan euthanasia.
B.
RUMUSAN
MASALAH
Adapun
perumusan yang akan dibahas antara lain:
1. Penertian
euthanasia dan pembagiannya.
2. Pandangan
islam tentang euthanasia.
3. Beberapa
pendapat dari imam syafi’I, imam hanafi dan imam maliki.
4. Tanggapan
Syeh Sulaiman al-Bujairimi
C.
TUJUAN
Pembuatan makalah ini bertujuan untuk mengetahui
D.
MANFAAT
Pembahasan ini dimaksudkan untuk menambah wawasan
kita tentang hukum euthanasia (taisir
al-maut).
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian
Euthanasia
Euthanasia
ialah menghilangkan derita si sakit dengan cara mengakhiri kehidupannya. Secara
medis, euthanasia baru dilaksanakan jika penyakit tersebut tidak mungkin di
sembuhkan lagi. Namun
demikian, faktor
ketidak mampuan
biaya juga menjadi pertimbangan. Dalam
dunia medis, di kenal tiga macam euthanasia.
a.
Euthanasia
aktif
Di sebut euthanasia aktif apabila dokter atau tenaga
kesehatan lainnya dengan sengaja melakukan suatu tindakan untuk memperpendek
(mengakhiri) hidup pasien.
b.
Euthanasia
tidak langsung
Euthanasia ini terjadi apabila dokter atau tenaga
medis lainnya tanpa maksud mengakhiri hidup pasien melakukan suatu tindakan
medis untuk meringankan hidup pasien, walaupun mereka mengetahui bahwa tindakan
tersebut dapat memperpendek hidup pasien.
c.
Euthanasia
fasif
Yakni apabila dokter atau tenaga medis lainnya secara sengaja tidak lagi memberikan bantuan
yang dapat memperpanjang hidup pasien.[1]
Dari
sini muncul pertanyaan, bagaimana pandangan islam terhadap euthanasia positif?
Bagaimana pula dengan euthanasia negative? Apakah kedua tindakan tersebut sama
dengan pembunuhan?
2.
Pandangan
Islam Tentang Euthanasia
Islam
sangat memperhatikan keselamatan dan kehidupan manusia. Karena itulah, islam
melarang seseorang bunuh diri. Sebab, pada hakikatnya jiwa yang bersemayam pada
jasadnya bukanlah miliknya sendiri.Sebaliknya, jiwa merupakan titipan allah SWT
yang harus dipelihara dan digunakan secara benar. Maka dari itu dia tidak boleh membunuh
dirinya sendiri.
Allah
SWT berfirman:
” Dan janganlah kamu membunuh dirimu
(sendiri).Sesungguhnya Allah SWT Maha Penyayang kepadamu. Dan barangsiapa
berbuat demikian dengan melanggar dan aniaya, maka kami kelak akan memasukkan
ke dalam api neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah”.[2]
Dalam
komentarnya (tentang ayat ini), Imam Fakhurrazi menyatakan bahwa secara fitrah,
manusia beriman tidak akan melakukan bunuh diri. Akan tetapi, dalam kondisi tertentu_misalnya
karena frustasi,mengalami kegagalan, dan sebagainya_ akan terbuka peluang cukup
besar untuk melakukannya. Dalam rangka itulah, AL-Qur’an melarang keras kaum
mukmin untuk melakukan bunuhdiri.
Karena
alasan itu pula, seorang pesakitan dalam islam untuk dianjurkan untuk segera
berobat. Sebab, orang berobat pada hakikatnya
dalam rangka mempertahankan
kehidupannya.
Rasulullah bersabda:
ان
الله عز وجل حيث خلق الداء خلق الدواء فتدووا
“Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla
menciptakan penyakit beserta obatnya. Karena itu, berobatlah”.
Hadis
ini memotivasi kepada manusia agar ketika sakit hendaknya berobat untuk
kesembuhan penyakitnya. Karena setiap penyakit yang diturunkan oleh allah itu
pasti ada obatnya. Meskipun kadang kala, manusia belum mengetahui obatnya. Yang
terpenting bagi manusia adalah bahwa ia telah berikhtiar untk menyembuhkan
penyakitnya.
Di
sisi lain, seseorang juga dilarang keras membunuh orang lain. Sebagai bukti
keseriusannya, islam memberikan ancaman dan sanksi yang sangat tegas bagi
pelakunya.
Allah SWT berfirman:
“Dan
barang siapa membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya adalah
neraka jahannam, kekal ia didalamnya. Allah murka dan mengutuk kepadanya dan
menyediakan adzab yang besar baginya.[3]
Pada
persoalan euthanasia positif, jika inisiatif untuk melakukan euthanasia itu
muncul dari pasien
,
maka dokter hanya dikenakan ta’zir. Dalam
hal ini kebijakan penuh atas kebijakan hakim.Sedangkan, si pasien justru
dianggap sebagai orang yang melakukan bunuh diri.
Lalu,
bagaimana halnya dengan euthanasia negative ?persoalan ini tentu berbeda dengan
dengan yang pertama (euthanasia positif). Tidak lain karena, dalam hal ini si
dokter sudah tidak mampu lagi member pertolongan medis. Karena itu dia tidak
bisa dipersalahkan begitu saja.Lebih-lebih, jika keluarga pasien yang sudah
tidak mampu
lagi membiayai pengobatan dan meminta sendiri agar si pasien tidak diobati.[4]
3. Pendapat Kalangan
Syafi’iyah, Malikiyah, dan Hanafiyah.
a. Kalangan
Syafi’iyah
Secara global, kalangan Syafi’iyah dan jumhur Ulama’
membagi pidana pembunuhan menjadi tiga,
pertama,
pembunuhan secara sengaja(al-qatl
al-‘amd). Yakni, pembunuhan yang dilakukan secara sengaja dengan
menggunakan alat atau benda yang biasanya dapat mematikan.Seperti pisau, sabit,
besi, racun, dan lain sebagainya.
Kedua,pembunuhan
semi sengaja (al-qatl al-syabih al-‘amd).Yaitu,
pembunahan yang dilakukan secara sengaja dengan menggunakan benda yang biasanya
tidak mematikan. Misalnya memukul secsra pelan dengan menggunakan tangan,cambuk
atau kerikil kecil.
Ketiga,
pembunuhan keliru(al-qatl al-khatha).Artinya
pembunuhan secara tidak sengaja, misalnya seseorang jatuh mengenai orang lain,
lalu orang tersebut mati.[5]
b. Kalangan
Hanafiyah
Lain halnya dengan hanafiyah, mereka membagi bentuk
pidana pembunuhan menjadi lima macam, yang meliputi tiga jenis pembunuhan versi
jumhur di tambah dengan dua versi mereka.
Pertama,
pembunuhan yang diserupakan dengan pembunuhan yang keliru. Misalnya, seseorang
yang sedang tidur lalu terjatuh mengenai
orang lain lalu kemudian menyebabkan orang itu mati.
Kedua, pembunuhan
dengan penyebab
secara tak langsung. Seperti, menggali lobang ditengah jalan umum, lalu ada
orang terperosok kedalamnya, kemudian ia mati.
c. Kalangan
Malikiyah
Kelompok malikiyah hanya membagi kepada dua pidana
seperti diatas, yakni al-‘amd dan al-katha’.Alasan mereka karena didalam
al-Qur’an hanya dibagi menjadi dua jenis pembunuhan tersebut.Selebihnya, lanjut
mereka, tidak ada dasar nashnya.
Dari penjelasan diatas, euthanasia aktif bisa masuk
dalam pembunuh sengaja.Karena dokter melakukan hal itu secara sengaja dan
jelas-jelas menggunakan obat yang pada biasanya memang bisa mempercepat
kematian si pasien.Konsekuensinya, si pelaku _dalam hal ini dokter_ dikenakan
hukun qishash. Bahkan jika ada
ahli waris yang turut mendukung praktik tersebut, maka dia tidak dapat
memperoleh warisan. Sebagaimana bunyi qaidah fiqh:
من استعجل شيئا قبل أوانه عوقب بحرمانه
“barang siapa
mempercepat sesuatu sebelum waktunya, maka terlarang sebab tindak
mempercepatnya itu”.[6]
Kaitannya dengan kaidah ini, bahwa seorang ahli
waris yang berusaha untuk membunuh orang, agar bisa mewarisi harta oarng
tersebut, tidak akan memperoleh bagian warisannyadi kemudian hari. Ini
merupakan kutukan islam atas orang-orang yang punya ambisi tinggi untuk bisa
memperoleh warisannya (sebanyak-banyaknya)
sebelum waktu yang semestinya.
4. Pendapat Syeh
Sulaiman al-Bujairimi.
Beliau
menegaskan:
ويسن
التدوي لخبر إن الله لم يضع داء إلا جعل له دواء غير الهرم. قال في المجموع فإن
ترك التداوي تواكلا على الله فهو أفضل ويكره إكراه المريض عليه.
”orang-orang yang sedang sakit disunnahkan
berobat, karena ada hadits,’sesungguhnya Allah tidak menciptakan penyakit tanpa
menyertakan obatnya kecuali tua renta. (imam al-Nawawi) berkomentar dalam kitab
al-Majmu’, jika seseorang yang sakit tidak mau berobat semata-mata karena tawakkal kepada
Allah SWT, maka hal itu lebih utama. Maka makruh hukumnya memaksa ia untuk
berobat”[7]
Jika mengikuti jalur ini, menjadi sangat boleh
membiarkan kondisi tanpa harus diobati,
pasien yang sudah pasrah total kepada Allah SWT. Tindakan
dokter atau juga keluarganya membiarkan
penyakit pasien berlarut-larut tidak bisa dipisahkan. Karena, barang kali, kondisi inilah yang
dikehendaki si pasien. Kalaupun harus mati, si pasien bisa merasa tenang tanpa
memikirkan keluarganya dengan tumpukan biaya hutang selama ia sakit misalnya.
Juga, karena mati, pasien bisa lebih cepat bertemu
tuhannya. Tuhan yang
memang sudah dirindukannya sejak lama. Karena itu ia tak ingin ada yang
menghalangi. Termasuk dengan cara memberi
obat padanya. Keinginannya sudah bulat.Maka jangan sekali kali menghalangi
keinginan mulia dia ini.
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Menurut istilah kedokteran,
euthanasia berarti tindakan agar kesakitan atau penderitaan yang yang dialami
seseorang yang akan meninggal diperingan. Euthanasia juga berarti mempercepat
kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang
kematiannya.
Faktor penyebab euthanasia
salah satunya adalah faktor kemiskinan. Ayat Alquran dan Hadis-hadis di atas
dengan jelas menunjukkan bahwa bunuh diri itu dilarang keras oleh Islam dengan
alasan apapun. Misalnya, seorang menderita AIDS atau kanker tahap akhir yang
sudah tak ada harapan sembuh secara medis dan telah kehabisan harta untuk biaya
pengobatannya, Islam tetap tidak memperbolehkan si penderita menghabisi
nyawanya, baik dengan tangannya sendiri (bunuh diri dengan minum racun atau
menggantung diri dan sebagainya), maupun dengan bantuan orang lain, sekalipun
dokter dengan memberi suntikan atau obat yang dapat mempercepat kematiannya
(euthanasia positif), atau dengan cara menghentikan segala pertolongan terhadap
si penderita termasuk pengobatannya (euthanasia negatif). Sebab penderita yang
menghabisi nyawanya dengan tangannya sendiri atau dengan bantuan orang lain
berarti ia mendahului atau melanggar kehendak dan wewenang Tuhan.
DAFTAR
PUSTAKA
H. Abu Yasid,Fiqh
Realitas,Pustaka Pelajar,Yogyakarta,2005.
Petrus Yoyo Karyadi, Euthanasia
dalam Perspektif Hak Asasi Manusia, Yogyakarta: Media Presindo, 2002
[1]
Dalam istilah lain ada tiga
macam bentuk euthanasia. Pertama euthanasia yang dilakukan atas kemauan pasien.
Dua euthanasia yang tanpa permintaan pasien. Tiga euthanasia yang tanpa sikap
dari pasien. Lihat petrus yoyo karyadi, Euthanasia dalam Perspektif Hak Asasi Manusia,(Yogyakarta:Media Presindo,
2002), 57-71.
[2]
QS,an-Nisa’[4], 29-30.
[3]
Al-Syibani, Al-Musnad,juz IV,319
[4]
H.Abdul Yasid,fiqh realitas,pustaka pelajar,
Yogyakarta,2005.hlm.217
[5]
Al-Syarbini,mughni al-muhtaj,jus
IV,3;Ibnu Qadamah al-Mughni,juz VIII,236.
[6]
Al-suyuthi,al-asybah,152.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar