Pendahuluan
Al-quran
merupakan kitab suci kaum muslimin, kumpulan wahyu ini dinamakan al-Quran,
sebagaimana ungkapan yang dikenalkan dalam banyak ayatnya, yang artinya bacaan.
Karena itu, sesuai dengan namanya, kitab suci ini mesti dibaca yang tujuannya
agar makna dan ajarannya dapat dipahami, selanjutnya diamalkan dan diwujudkan
dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan nama ini, secara implisit Allah
memerintah seluruh umat Islam untuk
membacanya, karena hanya dengan kegiatan itu mereka akan mengetahui apa saja
tuntunan Ilahi yang wajib dijadikan pedoman dan petunjuk dalam kehidupan
sehari-hari. Satu hal yang harus diperhatikan adalah bahwa cara membaca
al-Quran itu tidak sama dengan membaca buku-buku yang berbahasa Arab.
Maksudnya,
adalah ada aturan-aturan khusus dalam membacanya. Bahkan para ulama sepakat
bahwa membaca al-Quran dengan cara khusus, yaitu dengan kaidah tajwid.
Kesalahan pada bacaan, baik itu karena tidak diperhatikan panjang atau
pendeknya kata, tebal atau tipisnya huruf, mendengung atau jelasnya kata yang
diucapkan, dan sebagainya tentu akan dapat mengubah makna atau maksud yang
sesungguhnya. Karena al-Quran adalah bahasa Arab, maka cara membacanya juga
harus mengikuti dialek orang Arab. Dan menirukan dialek orang Arab ini
memerlukan kesungguhan dan latihan terus menerus.
Jika sampai
pada tingkat mahir, maka tidak ada perbedaan antara bacaan orang Arab dan non-Arab. Maka tidak heran, banyak
ulama’ yang mengarang kitab-kitab yang secara khusus membahas al-Qur’an,
terutama masalah qiraat dan juga dalam masalah ketentuan hukum yang terkandung
didalamnya, yang dilatar belakangi dengan hadits Nabi “Sesungguhnya al-Quran
ini diturunkan dengan tujuh huruf dan bacalah kamu mengikut apa yang mudah
darinya. Dalam makalah ini kami akan mengungkap tentang adanya pengaruh qiraat
terhadap istinbat hukum.
Pembahasan
Pengaruh perbedaan Qira’at terhadap
Istinbath Hukum dalam Al-Qur’an
A.
Pengertian Qiraat
Qiraat adalah
tilawah dan bacaan al-Quran yang secara etimologis bisa disebut dengan tilawah
al-Quran yang memiliki ciri khusus. Dengan kata lain, setiap kali tilawah
al-Quran itu diujarkan dari nas wahyu Ilahi dan sesuai dengan ijtihad salah
satu qari terkenal, serta sesuai dengan kaidah ilmu qiraat, maka qiraat
al-Quran itu telah terlaksana. Tentunya al-Quran memiliki satu nas dan
perbedaan yang ada dikalangan para Qari berkisar anatara masalah cara
memperoleh hingga menemukan satu nas.
Imam Jafar
Shadiq berkata: “Sesungguhnya al-Quran itu satu, diturunkan dari yang Maha Satu
, namun perbedaan itu datang dari sisi para perawi.” Para Qari al-Quran itu
adalah para perawi dan penukil al-Quran yang diturunkan kepada Rasulullah SAW.
perbedaan mereka terletak pada penukilan dan riwayat nas. Hal ini disebabkan
oleh beberapa faktor yang mengharuskan terjadinya perbedaan.[1]
Sahabat-sahabat
Nabi terdiri dari beberapa golongan. Tiap-tiap golongan itu mempunyai lahjah
(bunyi suara atau sebutan) yang berlainan satu sama lainnya. Memaksa meraka
menyebut pembacaan atau membunyikannya dengan lahjah yang tidak mereka
biasakan, suatu hal yang menyukarkan maka untuk mewujudkan kemudahan, Allah yang
Maha Bijaksana menurunkan al-Quran dengan lahjah-lahjah yang biasa dipakai
ditanah Arab, ada tujuh macam. Disamping itu ada beberapa lahjah lagi.
Sahabat-shabat Nabi menerima al-Quran dari Nabi menurut lahjah bahsa
golongannya. Dan masing-masing mereka meriwayatkan al-Quran menurut lahjah
mereka sendiri.[2]
Dari perbedaannya qiraat inilah juga adakalanya berpengaruh terhadap istinbat
hukum dan adakalanya yang tidak berpengaruh pada istinbat hukum.
B.
Pengertian
Hukum & Istinbath
Hukum (baca:
hukum Islam), yang sering kali diidentikkan dengan syari’at[3],
merupakan salah satu aspek pokok ajaran Islam yang terkandung dalam
Al-Qur’an. Karena itu, ayat-ayat Al-Qur’an yang berkenaan dengan hukum,
biasanya disebut dengan ayat-ayat hukum.
Secara
etimologi, hukum berarti: menetapkan sesuatu terhadap sesuatu atau
meniadakannya ( إثبات امر لامر او نفيه عنه
). Jika
menetapkan atau meniadakannya melalui akal, disebut hukum ‘aqli, jika
melalui melalui jalan adat, disebut hukum ‘adi (kebiasaan), dan jika
menetapkan atau meniadakannya itu dengan jalan syara’, maka ia disebut
hukum syar’i.
Kata Istinbath
( استنباط
), adalah
bahasa arab yang katanya (mufradatnya) adalah al-nabath ( النبط
), dari kata jamak
(plural) adalah ( نبط – ينبط – نبطا ). Al-nabath ( النبط
), ( النبط:
اول ما يظهر من ماء البئر اذا حفرتها ) artinya
adalah air yang pertama kali keluar atau tampak pada saat seseorang menggali
sumur.
Adapun makna istinbath
( استنباط
) menurut
bahasa adalah ( استنباط: استخراج الماء من العين
) artinya
adalah mengeluarkan air dari mata air / dalam tanah.
Karena itu,
secara umum kata istinbath dipergunakan dalam arti istikhraj ( استخراج
) artinya
mengeluarkan.[4]
C. Urgensi mempelajari
Qira’at
Mempelajari
Qira’at bisa menghasilkan beberapa faidah, setidaknya menurut Rosihon Anwar
ada 5 faedah yaitu:[5]
a.
Dapat menguatkan ketentuan-ketentuan hukum yang telah disepakati para
ulama. Misalnya, berdasarkan surat
An-Nisa’ ayat 12, para ulama telah sepakat bahwa yang dimaksud saudara
laki-laki dan saudara perempuan dalam ayat tersebut, yaitu saudara laki-laki
dan saudara perempuan seibu saja. Dalam Qira’at Syadz, Sa’ad bin Abi Waqqash
memberi tambahan ungkapan “Min Umm” Sehingga ayat itu menjadi:
وَإِن
كَانَ رَجُلٞ يُورَثُ كَلَٰلَةً أَوِ ٱمۡرَأَةٞ وَلَهُۥٓ أَخٌ أَوۡ أُخۡتٞ ) من
ام ) فَلِكُلِّ وَٰحِدٖ مِّنۡهُمَا ٱلسُّدُسُۚ
Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak
meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara
laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi
masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. (Q.S. An-Nisa 4: 12)
Dengan demikan, qira’at Sa’ad bin Abi Waqqaash dapat memperkuat dan
mengukuhkan ketetapan hukum yang telah disepakati.
b.
Dapat mentarjih hukum yang diperselisihkan para ulama. Misalnya, dalam
surat al-Maidah ayat 89, disebutkan bahwa kifarat sumpah adalah berupa
memerdekan budak. Namun, tidak disebutkan apakah budaknya itu muslim atau
nonmuslim. Hal ini mengandung perbedaan pendapat di kalangan para fuqaha. Dalam
qira’at syadz, ayat itu memperoleh tambahan mu’minatin. Dengan demikian
menjadi:
فَكَفَّٰرَتُهُۥٓ
إِطۡعَامُ عَشَرَةِ مَسَٰكِينَ مِنۡ أَوۡسَطِ مَا تُطۡعِمُونَ أَهۡلِيكُمۡ أَوۡ كِسۡوَتُهُمۡ
أَوۡ تَحۡرِيرُ رَقَبَةٖۖ مؤمنة.
“_maka
kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin,
yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi
pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak (Mukmin)”. (Q.S. 5: 89)
Tambahan kata
“Mukminatin” berfungsi men-tarjih pendapat sebagian ulama, antara lain
As-Syafi’i, yang mewajibkan memerdekakan budak mukmin bagi orang yang melanggar
sumpah, sebagai salah satu alternatif bentuk
kifaratnya.
c.
Dapat menggabungkan dua ketentuan hukum yang berbeda. Misalnya, dalam surat
al-Baqarah 2 ayat 222, dijelaskan bahwa seorang suami dilarang melakukan
hubungan seksual tatkala istrinya sedang haid, sebelumnya haidnya berakhir.
Sementara qira’at yang membacanya dengan “yuththahirna” (di dalam mushaf
‘Utsmani tertulis “yathhurna”), dapat dipahami bahwa seorang suami tidak boleh
melakukan hubungan seksual sebelum istrinya bersuci dan mandi.
d.
Dapat menunjukkan dua ketentuan
hukum yang berbeda dalam kondisi berbeda pula. Misalnya, yang terdapat dalam
surat al-Ma’idah 5 ayat. Ada dua bacaan mengenai ayat itu, yaitu yang membaca “arjulakum”
dan yang membaca “arjulikum”. Perbedaan qira’at ini tentu saja
mengosekuensikan kesimpulan hukum yang berbeda.
e.
Dapat memberikan penjelasan terhadap suatu kata di dalam Al-Qur’an yang
mungkin sulit dipahami maknaya. Misalnya, di dalam surat al-Qari’ah 101 ayat 5,
Allah berfirman:
وَتَكُونُ
ٱلۡجِبَالُ كَٱلۡعِهۡنِ ٱلۡمَنفُوشِ ٥
Dalam sebuah
qira’at yang syadz dibaca:
وَتَكُونُ
ٱلۡجِبَالُ كَٱلصوف
ٱلۡمَنفُوشِ ٥
Dengan demikian, jelaslah bahwa yang dimaksud dengan kata kata “al-ihn”
adalah “al’shuf.”
D.
Perbedaan
Qira’at yang Berpengaruh terhadap Istinbath Hukum
Adapun
perbedaan qira’at al-qur’an yang menyangkut ayat-ayat hukum, dan berpengaruh
terhadap istinbath hukum misalnya:
a.
Firman Allah:
وَيَسَۡٔلُونَكَ عَنِ ٱلۡمَحِيضِۖ قُلۡ هُوَ أَذٗى فَٱعۡتَزِلُواْ
ٱلنِّسَآءَ فِي ٱلۡمَحِيضِ وَلَا تَقۡرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطۡهُرۡنَۖ فَإِذَا تَطَهَّرۡنَ
فَأۡتُوهُنَّ مِنۡ حَيۡثُ أَمَرَكُمُ ٱللَّهُۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلتَّوَّٰبِينَ
وَيُحِبُّ ٱلۡمُتَطَهِّرِينَ ٢٢٢
“Mereka
bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu
kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di
waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila
mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan
Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan
menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al-
Baqarah 222).
Berkaitan dengan ayat di atas, di antara imam qira’at
tujuh, yaitu Abu Bakar Syu’bah (qira’at ‘Ashim riwayat Syau’bah), Hamzah,
dan al-Kisa’i membaca kata “yathhurna” dengan memberi syiddah pada huruf
tha’ dan ha. Maka, bunyinya menjadi “yuththarhina”. Berdasarkan
perbedaan qira’at ini, para ulama fiqih berbeda pendapat sesuai dengan
banyaknya perbedaan qira’at. Ulama yang membaca “yathhurna” berpendapat
bahwa seorang suami tidak diperkenankan berhubungan dengan istrinya yang sedang haid, kecuali telah suci atau
telah berhenti dari keluarnya darah haid. Sementara yang membaca “yutthahhirna” menafsirkan
bahwa seorang suami tidak boleh melakukan hubungan seksual dengan istrinya,
kecuali telah bersih.[6]
b. Firman Allah:
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَقۡرَبُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَأَنتُمۡ سُكَٰرَىٰ حَتَّىٰ تَعۡلَمُواْ
مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّىٰ تَغۡتَسِلُواْۚ وَإِن
كُنتُم مَّرۡضَىٰٓ أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوۡ جَآءَ أَحَدٞ مِّنكُم مِّنَ ٱلۡغَآئِطِ
أَوۡ لَٰمَسۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَلَمۡ تَجِدُواْ مَآءٗ فَتَيَمَّمُواْ صَعِيدٗا طَيِّبٗا
فَٱمۡسَحُواْ بِوُجُوهِكُمۡ وَأَيۡدِيكُمۡۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا
٤٣
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu
ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub,
terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau
sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah
menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu
dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah
Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (QS. An-Nisa
43)
Berkaitan dengan ayat ini, Imam hamzah dan
al-Kisa’I memendekkan huruf lam pada kata “lamastum”, sementara imam-imam
lainnya memanjangkannya. Bertolak dari perbedaan qira’at ini, terdapat tiga
versi pendapat para ulama mengenai maksud kata itu, yaitu bersetubuh,
bersentuh, dan sambil bersetubuh. Berdasarkan pendapat qira’at itu pula, para
ulama fiqih ada yang berpendapat bahwa
persentuhan laki-laki dan perempuan itu membatalkan wudhu. Namun, ada juga yang
berpendapat bahwa bersentuhan itu tidak membatalkan wudhu, kecuali kalau
berhubungan badan.
Perbedaan Qiraat yang Tidak Berpengaruh Terhadap Istinbat Hukum
Adapun qiraat syazzat yang tidak
berpengaruh terhadap istinbat hukum, salah satu contoh ayat yang bersangkutan seabagai
berikut:
Firman Allah:
wur (#qèdÌõ3è? öNä3ÏG»utGsù n?tã Ïä!$tóÎ7ø9$# ÷bÎ) tb÷ur& $YYÁptrB (#qäótGö;tGÏj9 uÚttã Ío4quptø:$# $u÷R9$# 4 `tBur £`gdÌõ3ã ¨bÎ*sù ©!$# .`ÏB Ï÷èt/ £`ÎgÏdºtø.Î) Öqàÿxî ÒOÏm§ ÇÌÌÈ
Artinya: “Dan
janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang
mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari Keuntungan
duniawi. dan Barangsiapa yang memaksa mereka, Maka Sesungguhnya Allah adalah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu”.
(QS. An-Nur/24:33).
Ayat tersebut
diatas menjelaskan, bahwa para pemilik budak-budak wanita diharamkan memaksa
budak-budak tersebut untuk melakukan prostitusi (pelacuran), karena hendak
mencari keuntungan duniawi. Dan apabila budak-budak wanita itu dipaksa untuk
melakukan hak demikian, maka Allah akan mengampuni mereka.
Sehubungan
ayat al-Quran diatas, dalam qiraat syazzat yaitu qiraat Ibnu Abbas serta qiraat
Ibnu Mas’ud dan Jabir ibn Abdullah, disebutkan:
فإن الله من
بعد إكراههن لهن غفور رحيم
Qiraat
tersebut tidak berpengaruh terhadap istinbat hokum dari ayat al-Quran diatas,
karena tanpa tambahan lafaz (لهن) pun, ayat tersebut jelas menunjukkan bahwa ampunan Allah itu
ditujukan (diberikan) kepada budak-budak wanita yang dipaksa oleh tuannya,
untuk melakukan pelacuran, dan bukan ditujukan (diberikan) kepada tuannya yang
memaksa meraka untuk melakukan pelacuran tersebut.
Sehubungan
dengan ini, al-Zamakhsyari menyatakan sebagai berikut:
لا حاخجة إلى
تعليق المغفرة بهن لأن المكرهة على الزنا بخلاف المكره عليه فى انها غير اثمة
“Ampunan Allah
(dalam ayat tersebut) tidak memerlukan tambahan lafaz ( لهن ),
karena budak-budak wanita yang dipaksa untuk melakukan zina (pelacuran), jelas
tidak berdosa, lain halnya dengan orang yang memaksa (tuan mereka).”[7]
PENUTUP
Adanya perbedaan Qira’at menimbulkan beberapa
pengaruh baik terhadap lafal, rasm, dan juga penerapannya dalam kehidupan
sehari-hari. Mengetahui tentang
perbedaan qira’at dan pengaruhnya sangatlah penting dalam hal pengambilan
(Istinbath) hukum, karena: a) dapat menguatkan ketentuan-ketentuan hukum yang
telah disepakati para ulama; b) dapat mentarjih hukum yang diperselisihkan para
ulama; c) dapat menggabungkan dua ketentuan hukum yang berbeda; d) dapat
menunjukkan dua ketentuan hukum yang berbeda dalam kondisi berbeda pula; e)
dapat memberikan penjelasan terhadap suatu kata di dalam al-Qur’an yang mungkin
sulit dipahami maknanya.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihon Ulum
Al-Quran, Bandung: CV Pustaka Setia, 2012.
Ash Shiddieqy, M. Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Quran /Tafsir, Jakarta:
Bulan Bintang, 1952.
Hasanuddin. AF, Perbedaan Qiraat
dan pengaruh terhadap Istinbath Hukum dalam Al-Qur’an, Penerbit: PT RajaGrafindo Persada, Cet 1,
tahun 1995, Jakarta-Indonesia.
Ma’rifat, M. Hadi, Sejarah Lengkap Al-Quran, Jakarta: Al-Huda,
2010.
[1] M. Hadi Ma’rifat, Sejarah Lengkap
Al-Quran, (Jakarta: Al-Huda, 2010)., h. 212.
[2] M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan
Pengantar Ilmu Al-Quran /Tafsir, (Jakarta: Bulan Bintang, 1952).,h. 76.
[3] Istilah Syari’at, paada mulanya
mencakup pengertian yang luas, tidak terbatas pada hal-hal yang berkaitan
dengan hukum, akan tetapi juga mencakup aqidah dan segala ajaran yang
ditetapkan oleh Allah SWT. Dengan demikian, syari’at mengandung arti,
meng-Esakan Allah, menantaati-Nya, beriman kepada Rasul-rasul-Nya,
kitab-kitab-Nya, kitab-kitab-Nya, dan hari pembalasan serta segala sesuatu yang
membuat seseorang menjadi muslim.
[4] Hasanuddin. AF, Perbedaan Qiraat dan
pengaruh terhadap Istinbath Hukum dalam Al-Qur’an, Penerbit: PT RajaGrafindo Persada, Cet 1,
tahun 1995, Jakarta-Indonesia, h. 181-189
[7] Hasanuddin AF, Anatomi
al-Quran Perbedaan Qiraat Dam Pengaruhnya Terhadap Istinbat Hukum Dalam
Al-Quran, (Jakarta: PT Raja Grapindo Persada)., h.236-238.
IJIN COPAS FRIEND
BalasHapus