Sabtu, 01 November 2014

Pengaruh perbedaan Qira’at terhadap Istinbath Hukum dalam Al-Qur’an



Pendahuluan

Al-quran merupakan kitab suci kaum muslimin, kumpulan wahyu ini dinamakan al-Quran, sebagaimana ungkapan yang dikenalkan dalam banyak ayatnya, yang artinya bacaan. Karena itu, sesuai dengan namanya, kitab suci ini mesti dibaca yang tujuannya agar makna dan ajarannya dapat dipahami, selanjutnya diamalkan dan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari.
 Dengan nama ini, secara implisit Allah memerintah seluruh  umat Islam untuk membacanya, karena hanya dengan kegiatan itu mereka akan mengetahui apa saja tuntunan Ilahi yang wajib dijadikan pedoman dan petunjuk dalam kehidupan sehari-hari. Satu hal yang harus diperhatikan adalah bahwa cara membaca al-Quran itu tidak sama dengan membaca buku-buku yang berbahasa Arab.
Maksudnya, adalah ada aturan-aturan khusus dalam membacanya. Bahkan para ulama sepakat bahwa membaca al-Quran dengan cara khusus, yaitu dengan kaidah tajwid. Kesalahan pada bacaan, baik itu karena tidak diperhatikan panjang atau pendeknya kata, tebal atau tipisnya huruf, mendengung atau jelasnya kata yang diucapkan, dan sebagainya tentu akan dapat mengubah makna atau maksud yang sesungguhnya. Karena al-Quran adalah bahasa Arab, maka cara membacanya juga harus mengikuti dialek orang Arab. Dan menirukan dialek orang Arab ini memerlukan kesungguhan dan latihan terus menerus.
Jika sampai pada tingkat mahir, maka tidak ada perbedaan antara bacaan orang  Arab dan non-Arab. Maka tidak heran, banyak ulama’ yang mengarang kitab-kitab yang secara khusus membahas al-Qur’an, terutama masalah qiraat dan juga dalam masalah ketentuan hukum yang terkandung didalamnya, yang dilatar belakangi dengan hadits Nabi “Sesungguhnya al-Quran ini diturunkan dengan tujuh huruf dan bacalah kamu mengikut apa yang mudah darinya. Dalam makalah ini kami akan mengungkap tentang adanya pengaruh qiraat terhadap istinbat hukum.

Pembahasan
Pengaruh perbedaan Qira’at terhadap Istinbath Hukum dalam Al-Qur’an
A.    Pengertian Qiraat
Qiraat adalah tilawah dan bacaan al-Quran yang secara etimologis bisa disebut dengan tilawah al-Quran yang memiliki ciri khusus. Dengan kata lain, setiap kali tilawah al-Quran itu diujarkan dari nas wahyu Ilahi dan sesuai dengan ijtihad salah satu qari terkenal, serta sesuai dengan kaidah ilmu qiraat, maka qiraat al-Quran itu telah terlaksana. Tentunya al-Quran memiliki satu nas dan perbedaan yang ada dikalangan para Qari berkisar anatara masalah cara memperoleh hingga menemukan satu nas.
Imam Jafar Shadiq berkata: “Sesungguhnya al-Quran itu satu, diturunkan dari yang Maha Satu , namun perbedaan itu datang dari sisi para perawi.” Para Qari al-Quran itu adalah para perawi dan penukil al-Quran yang diturunkan kepada Rasulullah SAW. perbedaan mereka terletak pada penukilan dan riwayat nas. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yang mengharuskan terjadinya perbedaan.[1]
Sahabat-sahabat Nabi terdiri dari beberapa golongan. Tiap-tiap golongan itu mempunyai lahjah (bunyi suara atau sebutan) yang berlainan satu sama lainnya. Memaksa meraka menyebut pembacaan atau membunyikannya dengan lahjah yang tidak mereka biasakan, suatu hal yang menyukarkan maka untuk mewujudkan kemudahan, Allah yang Maha Bijaksana menurunkan al-Quran dengan lahjah-lahjah yang biasa dipakai ditanah Arab, ada tujuh macam. Disamping itu ada beberapa lahjah lagi. Sahabat-shabat Nabi menerima al-Quran dari Nabi menurut lahjah bahsa golongannya. Dan masing-masing mereka meriwayatkan al-Quran menurut lahjah mereka sendiri.[2] Dari perbedaannya qiraat inilah juga adakalanya berpengaruh terhadap istinbat hukum dan adakalanya yang tidak berpengaruh pada istinbat hukum.


B.     Pengertian Hukum & Istinbath
Hukum (baca: hukum Islam), yang sering kali diidentikkan dengan syari’at[3], merupakan salah satu aspek pokok ajaran Islam yang terkandung dalam Al-Qur’an. Karena itu, ayat-ayat Al-Qur’an yang berkenaan dengan hukum, biasanya disebut dengan ayat-ayat hukum.
Secara etimologi, hukum berarti: menetapkan sesuatu terhadap sesuatu atau meniadakannya ( إثبات امر لامر او نفيه عنه ). Jika menetapkan atau meniadakannya melalui akal, disebut hukum ‘aqli, jika melalui melalui jalan adat, disebut hukum ‘adi (kebiasaan), dan jika menetapkan atau meniadakannya itu dengan jalan syara’, maka ia disebut hukum syar’i.
Kata Istinbath ( استنباط ), adalah bahasa arab yang katanya (mufradatnya) adalah al-nabath ( النبط ), dari kata jamak (plural) adalah ( نبط – ينبط – نبطا ). Al-nabath ( النبط ), ( النبط: اول ما يظهر من ماء البئر اذا حفرتها ) artinya adalah air yang pertama kali keluar atau tampak pada saat seseorang menggali sumur.
Adapun makna istinbath ( استنباط ) menurut bahasa adalah ( استنباط: استخراج الماء من العين ) artinya adalah mengeluarkan air dari mata air / dalam tanah.
Karena itu, secara umum kata istinbath dipergunakan dalam arti istikhraj ( استخراج ) artinya mengeluarkan.[4]



C.    Urgensi mempelajari Qira’at
Mempelajari Qira’at bisa menghasilkan beberapa faidah, setidaknya menurut Rosihon Anwar ada 5 faedah yaitu:[5]
a.       Dapat menguatkan ketentuan-ketentuan hukum yang telah disepakati para ulama.  Misalnya, berdasarkan surat An-Nisa’ ayat 12, para ulama telah sepakat bahwa yang dimaksud saudara laki-laki dan saudara perempuan dalam ayat tersebut, yaitu saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu saja. Dalam Qira’at Syadz, Sa’ad bin Abi Waqqash memberi tambahan ungkapan “Min Umm” Sehingga ayat itu menjadi:
وَإِن كَانَ رَجُلٞ يُورَثُ كَلَٰلَةً أَوِ ٱمۡرَأَةٞ وَلَهُۥٓ أَخٌ أَوۡ أُخۡتٞ ) من ام ) فَلِكُلِّ وَٰحِدٖ مِّنۡهُمَا ٱلسُّدُسُۚ
Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. (Q.S. An-Nisa 4: 12)
Dengan demikan, qira’at Sa’ad bin Abi Waqqaash dapat memperkuat dan mengukuhkan ketetapan hukum yang telah disepakati.
b.      Dapat mentarjih hukum yang diperselisihkan para ulama. Misalnya, dalam surat al-Maidah ayat 89, disebutkan bahwa kifarat sumpah adalah berupa memerdekan budak. Namun, tidak disebutkan apakah budaknya itu muslim atau nonmuslim. Hal ini mengandung perbedaan pendapat di kalangan para fuqaha. Dalam qira’at syadz, ayat itu memperoleh tambahan mu’minatin. Dengan demikian menjadi:
فَكَفَّٰرَتُهُۥٓ إِطۡعَامُ عَشَرَةِ مَسَٰكِينَ مِنۡ أَوۡسَطِ مَا تُطۡعِمُونَ أَهۡلِيكُمۡ أَوۡ كِسۡوَتُهُمۡ أَوۡ تَحۡرِيرُ رَقَبَةٖۖ     مؤمنة.
“_maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak (Mukmin)”. (Q.S. 5: 89)
Tambahan kata “Mukminatin” berfungsi men-tarjih pendapat sebagian ulama, antara lain As-Syafi’i, yang mewajibkan memerdekakan budak mukmin bagi orang yang melanggar sumpah, sebagai salah satu alternatif bentuk kifaratnya.
c.       Dapat menggabungkan dua ketentuan hukum yang berbeda. Misalnya, dalam surat al-Baqarah 2 ayat 222, dijelaskan bahwa seorang suami dilarang melakukan hubungan seksual tatkala istrinya sedang haid, sebelumnya haidnya berakhir. Sementara qira’at yang membacanya dengan “yuththahirna” (di dalam mushaf ‘Utsmani tertulis “yathhurna”), dapat dipahami bahwa seorang suami tidak boleh melakukan hubungan seksual sebelum istrinya bersuci dan mandi.
d.      Dapat menunjukkan  dua ketentuan hukum yang berbeda dalam kondisi berbeda pula. Misalnya, yang terdapat dalam surat al-Ma’idah 5 ayat. Ada dua bacaan mengenai ayat itu, yaitu yang membaca “arjulakum” dan yang membaca “arjulikum”. Perbedaan qira’at ini tentu saja mengosekuensikan kesimpulan hukum yang berbeda.
e.       Dapat memberikan penjelasan terhadap suatu kata di dalam Al-Qur’an yang mungkin sulit dipahami maknaya. Misalnya, di dalam surat al-Qari’ah 101 ayat 5, Allah berfirman:
وَتَكُونُ ٱلۡجِبَالُ كَٱلۡعِهۡنِ ٱلۡمَنفُوشِ ٥
Dalam sebuah qira’at yang syadz dibaca:
وَتَكُونُ ٱلۡجِبَالُ كَٱلصوف ٱلۡمَنفُوشِ ٥
Dengan demikian, jelaslah bahwa yang dimaksud dengan kata kata “al-ihn” adalah “al’shuf.”
D.    Perbedaan Qira’at yang Berpengaruh terhadap Istinbath Hukum
Adapun perbedaan qira’at al-qur’an yang menyangkut ayat-ayat hukum, dan berpengaruh terhadap istinbath hukum misalnya:
a.       Firman Allah:
وَيَسَۡٔلُونَكَ عَنِ ٱلۡمَحِيضِۖ قُلۡ هُوَ أَذٗى فَٱعۡتَزِلُواْ ٱلنِّسَآءَ فِي ٱلۡمَحِيضِ وَلَا تَقۡرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطۡهُرۡنَۖ فَإِذَا تَطَهَّرۡنَ فَأۡتُوهُنَّ مِنۡ حَيۡثُ أَمَرَكُمُ ٱللَّهُۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلتَّوَّٰبِينَ وَيُحِبُّ ٱلۡمُتَطَهِّرِينَ ٢٢٢
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al- Baqarah 222).
Berkaitan dengan ayat di atas, di antara imam qira’at tujuh, yaitu Abu Bakar Syu’bah (qira’at ‘Ashim riwayat Syau’bah), Hamzah, dan al-Kisa’i membaca kata “yathhurna” dengan memberi syiddah pada huruf tha’ dan ha. Maka, bunyinya menjadi “yuththarhina”. Berdasarkan perbedaan qira’at ini, para ulama fiqih berbeda pendapat sesuai dengan banyaknya perbedaan qira’at. Ulama yang membaca “yathhurna” berpendapat bahwa seorang suami tidak diperkenankan berhubungan dengan istrinya  yang sedang haid, kecuali telah suci atau telah berhenti dari keluarnya darah haid. Sementara  yang membaca “yutthahhirna” menafsirkan bahwa seorang suami tidak boleh melakukan hubungan seksual dengan istrinya, kecuali telah bersih.[6]

b.      Firman Allah:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَقۡرَبُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَأَنتُمۡ سُكَٰرَىٰ حَتَّىٰ تَعۡلَمُواْ مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّىٰ تَغۡتَسِلُواْۚ وَإِن كُنتُم مَّرۡضَىٰٓ أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوۡ جَآءَ أَحَدٞ مِّنكُم مِّنَ ٱلۡغَآئِطِ أَوۡ لَٰمَسۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَلَمۡ تَجِدُواْ مَآءٗ فَتَيَمَّمُواْ صَعِيدٗا طَيِّبٗا فَٱمۡسَحُواْ بِوُجُوهِكُمۡ وَأَيۡدِيكُمۡۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا ٤٣
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (QS. An-Nisa 43)
Berkaitan dengan ayat ini, Imam hamzah dan al-Kisa’I memendekkan huruf lam pada kata “lamastum”, sementara imam-imam lainnya memanjangkannya. Bertolak dari perbedaan qira’at ini, terdapat tiga versi pendapat para ulama mengenai maksud kata itu, yaitu bersetubuh, bersentuh, dan sambil bersetubuh. Berdasarkan pendapat qira’at itu pula, para ulama  fiqih ada yang berpendapat bahwa persentuhan laki-laki dan perempuan itu membatalkan wudhu. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa bersentuhan itu tidak membatalkan wudhu, kecuali kalau berhubungan badan.
Perbedaan Qiraat yang Tidak Berpengaruh Terhadap Istinbat Hukum
Adapun qiraat syazzat yang tidak berpengaruh terhadap istinbat hukum, salah satu contoh ayat yang bersangkutan seabagai berikut:
Firman Allah:
Ÿwur (#qèd̍õ3è? öNä3ÏG»uŠtGsù n?tã Ïä!$tóÎ7ø9$# ÷bÎ) tb÷Šur& $YYÁptrB (#qäótGö;tGÏj9 uÚttã Ío4quŠptø:$# $u÷R9$# 4 `tBur £`gd̍õ3ム¨bÎ*sù ©!$# .`ÏB Ï÷èt/ £`ÎgÏdºtø.Î) Öqàÿxî ÒOÏm§ ÇÌÌÈ  
Artinya: “Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari Keuntungan duniawi. dan Barangsiapa yang memaksa mereka, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu”. (QS. An-Nur/24:33).

Ayat tersebut diatas menjelaskan, bahwa para pemilik budak-budak wanita diharamkan memaksa budak-budak tersebut untuk melakukan prostitusi (pelacuran), karena hendak mencari keuntungan duniawi. Dan apabila budak-budak wanita itu dipaksa untuk melakukan hak demikian, maka Allah akan mengampuni mereka.
Sehubungan ayat al-Quran diatas, dalam qiraat syazzat yaitu qiraat Ibnu Abbas serta qiraat Ibnu Mas’ud dan Jabir ibn Abdullah, disebutkan:
فإن الله من بعد إكراههن لهن غفور رحيم
Qiraat tersebut tidak berpengaruh terhadap istinbat hokum dari ayat al-Quran diatas, karena tanpa tambahan lafaz (لهن) pun, ayat tersebut jelas menunjukkan bahwa ampunan Allah itu ditujukan (diberikan) kepada budak-budak wanita yang dipaksa oleh tuannya, untuk melakukan pelacuran, dan bukan ditujukan (diberikan) kepada tuannya yang memaksa meraka untuk melakukan pelacuran tersebut.
Sehubungan dengan ini, al-Zamakhsyari menyatakan sebagai berikut:
لا حاخجة إلى تعليق المغفرة بهن لأن المكرهة على الزنا بخلاف المكره عليه فى انها غير اثمة
“Ampunan Allah (dalam ayat tersebut) tidak memerlukan tambahan lafaz ( لهن ), karena budak-budak wanita yang dipaksa untuk melakukan zina (pelacuran), jelas tidak berdosa, lain halnya dengan orang yang memaksa (tuan mereka).”[7]


PENUTUP
Adanya perbedaan Qira’at menimbulkan beberapa pengaruh baik terhadap lafal, rasm, dan juga penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.  Mengetahui tentang perbedaan qira’at dan pengaruhnya sangatlah penting dalam hal pengambilan (Istinbath) hukum, karena: a) dapat menguatkan ketentuan-ketentuan hukum yang telah disepakati para ulama; b) dapat mentarjih hukum yang diperselisihkan para ulama; c) dapat menggabungkan dua ketentuan hukum yang berbeda; d) dapat menunjukkan dua ketentuan hukum yang berbeda dalam kondisi berbeda pula; e) dapat memberikan penjelasan terhadap suatu kata di dalam al-Qur’an yang mungkin sulit dipahami maknanya.



DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Rosihon Ulum Al-Quran, Bandung: CV Pustaka Setia, 2012.
Ash Shiddieqy, M. Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Quran /Tafsir, Jakarta: Bulan Bintang, 1952.
Hasanuddin. AF, Perbedaan Qiraat dan pengaruh terhadap Istinbath Hukum dalam Al-Qur’an,  Penerbit: PT RajaGrafindo Persada, Cet 1, tahun 1995, Jakarta-Indonesia.
Ma’rifat, M. Hadi, Sejarah Lengkap Al-Quran, Jakarta: Al-Huda, 2010.




[1] M. Hadi Ma’rifat, Sejarah Lengkap Al-Quran, (Jakarta: Al-Huda, 2010)., h. 212.
[2] M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Quran /Tafsir, (Jakarta: Bulan Bintang, 1952).,h. 76.
[3] Istilah Syari’at, paada mulanya mencakup pengertian yang luas, tidak terbatas pada hal-hal yang berkaitan dengan hukum, akan tetapi juga mencakup aqidah dan segala ajaran yang ditetapkan oleh Allah SWT. Dengan demikian, syari’at mengandung arti, meng-Esakan Allah, menantaati-Nya, beriman kepada Rasul-rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, kitab-kitab-Nya, dan hari pembalasan serta segala sesuatu yang membuat seseorang menjadi muslim.
[4] Hasanuddin. AF, Perbedaan Qiraat dan pengaruh terhadap Istinbath Hukum dalam Al-Qur’an,  Penerbit: PT RajaGrafindo Persada, Cet 1, tahun 1995, Jakarta-Indonesia, h. 181-189
[5] Rosihon Anwar, Ulum Al-Quran, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2012). Hal. 155-157.
[6] Rosihon Anwar, Ulum Al-Quran, h. 158.

[7] Hasanuddin AF, Anatomi al-Quran Perbedaan Qiraat Dam Pengaruhnya Terhadap Istinbat Hukum Dalam Al-Quran, (Jakarta: PT Raja Grapindo Persada)., h.236-238.

1 komentar: